PROLOG
Selalu ada sifat tergesa-gesa di kalangan orang yang penuh keyakinan, ketika mereka hendak mencapai satu keadaan di mana keyakinan itu terjaga murni, tak lagi dicemari suara dan pikiran yang mengganggu.
”Apa yang paling tuan takutkan dalam perkara kemurnian?”
”Sifat tergesa-gesa,” jawab William.
Percakapan dalam novel Il Nome de la Rosa Umberto Eco.
Kita hanyalah penafsir tanda-tanda, di mana kebenaran menerakan jejaknya. Itu sebabnya kata pertama yang menakjubkan adalah: ”Bacalah”.
( Goenawan Mohamad : Bom / Buku, Caping Tempo Interaktif )
Aku dan Kunang-Kunang Raksasa
Sudah beberapa hari aku tidak tidur, baik siang maupun malam, hanya untuk memohon petunjuk atas sebuah permasalahan yang sedang aku hadapi. Masalah yang membuat resah baik hatiku juga hati para pengikutku. Malam ini malam ketujuh, di luar sunyi hanya ada hitam bayang pepohonan dan nyanyian burung malam.
Seekor kunang-kunang muncul begitu saja di dalam kamar, seolah keluar dari balik tembok. Ia menghampiriku, kemudian tanpa malu-malu hinggap di pucuk jari. Ia kemudian membawaku terbang tanpa tanya, keluar kamar. Ia membawaku ke dalam gelap malam. Tubuhnya kemudian meraksasa seperti dipompa. Aku beringsut naik keatas punggungnya. Entah, bagaimana ia melakukannya. Aku juga heran. Tapi tak banyak waktu yang diberikan padaku untuk bernalar. Aku dibawa ke suatu tempat dimana suara dan logika tidak berguna. Dimana masuk dan keluar adalah sebuah hal yang sama, tanpa pembenaran dan tanpa keberpihakan.
Ada seorang berpakaian putih, dengan cahaya putih menyilaukan keluar dari seluruh pori tubuhnya. Ia sama dan serupa denganku, tapi ia bukan aku. Segunung keresahan dibawa di pundaknya. Keresahan yang berasal dari hati para pengikutnya yang tertular dalam kedalaman matanya layaknya hama.
Mata yang juga bercerita tentang sebuah warna hitam yang sangat hitam, begitu kuat hingga tak tertembus oleh silau cahaya yang keluar dari tubuhnya. Oleh sebab itu berhari-hari ia korbankan lelap tidurnya, memohon petunjuk dalam sepi pada tempat yang tinggi.
Sepertinya permohonannya terkabul, ditemuinya jalan keluar itu sedang tergantung-gantung di udara. Dia cepat-cepat meraih dan menyimpannya diantara lipatan-lipatan dan dalam kepalanya. Ia datangi resah pengikutnya, dikisahkannya tentang sebuah kisah, lirih hampir tanpa suara. Mirip gumam mungkin juga erang. Namun aku temukan kekejaman di dalamnya.
Gumam ataupun erang yang begitu lantang terdengar bagiku. Mungkin karena tubuhnya begitu mirip denganku, namun dia bukan aku. Gumam, yang isinya menyengatku hingga mampu menggetarkan tubuhku dan menjatuhkan aku dari punggung kunang-kunang raksasa yang kutunggangi.
Tentang empat ekor kuda dan serat dari tubuh manusia. Ada nyeri yang berbalur ngeri dalam hati. Seolah tahu keadaanku, kunang-kunang raksasa membawaku menjauh dari tempat itu. Kini yang ada hanya hitam disekelilingku, membawa ingatanku pada sahabat lamaku, rahim ibu.
Kunang-kunang itu membawaku ke tempat lain, dimana hanya ruang dengan sebuah mata yang mengambang. Mata yang teduh dan indah. Pelupuk yang selalu tergenang. Mata yang seolah lama kukenal dan mengenalku. Keras aku perintahkan otak mengingat, tentang mata itu. Setelah agak lama aku mampu mengenalinya. Yah..itu mata ibu. Namun aku masih ragu.
Aku kemudian melongok ke dalam kedalaman mata untuk memastikannya, karena seingatku ada luka disana. Kutemukan lobang luka itu. Menganga besar dan dalam tidak seperti yang terpatri diingatan. Seekor ular keluar dari kedalamannya, melata dan pamer desis. Aku temukan hitam setan meringkuk di mata ular. Sekali lagi kunang-kunang raksasa membawaku menjauh. Hitam tanpa tepi.
Aku duduk dalam kamar, kunang-kunang kecil masih hinggap pada pucuk jari jari. Ringan tanpa beban, ia melenggang. Pergi dengan pendar pada ujung pantatnya.
Istana Masa
Aku terlahir dari keluarga sederhana kata para pejabat, mlarat kata para tetangga. Ayahku hanyalah seorang petani kecil, petani gurem (tololnya sewaktu kecil aku percaya bahwa kutu ayam itu juga ditanam di sawah) yang hanya memiliki sepetak tanah. Sawah hasil warisan dari ayahnya ayah. Sawah yang bahkan hasilnya tidak cukup untuk memberi kenyang selama 2 bulan. Oleh karena itu, ayah dan ibuku selalu berjuang keras untuk merncukupi hidup yang selalu lapar dan menuntut. Memutar keras otak dan otot mereka untuk mencukupi kebutuhanku, anak semata wayang tersayang.
Kerja keras apa pun mereka lakukan demi mengumpulkan serpihan-serpihan asap dapur, untuk menyumpal protes yang selalu keluar dari mulut perutku. Meski begitu nasib masih juga membutakan hati dan matanya, tidak juga tersentuh oleh keras usaha mereka. Bahkan tidak peduli tetes-tetes keringat yang menderas dan wajah-wajah letihnya. Rupanya nasib juga enggan memihak orang papa.
Kami lebih sering berpuasa daripada makan. Kami lebih akrab dengan tangan-tangan lembut lapar. Namun tak pernah kulihat orang tuaku marah atau mencaci nasib. Ibu selalu berkata padaku bahwa puasa itu baik, dan mampu mencegah penyakit dan lebih utama adalah merubah jejak tulisan sang nasib.
Aku selalu mengangguk seolah mengerti, paham dan setuju. Hanya demi menghentikan sebuah genangan-- yang selalu kuingat itu-- agar tidak jatuh ke permukaan bumi. Ayah juga bertutur hal yang sama. Mungkin ayah seperti halnya ibu, tidak tahu bahwa aku mampu membaca keletihan dan gurat-gurat kegetiran hidup yang menumpuk di kedalaman mata mereka.
*****
Rumahku istanaku. Berdinding gedheg (bilah-bilah bambu yang ditipiskan kemudian diayam) berbedak putihnya kapur. Dinding yang menaburkan serpihan putih yang sepedih nasib bila mengenai mata. Lantainya hitam tanah, yang menyeruapkan lembab udara bumi. Genting yang menaunginya tua, keriput oleh usia dan lumut. Genting yang selalu setia meneruskan bias pucat sang bagaskara kala langit gembira. Atau ramah sapa tetes hujan yang seringkali membuat kami kelabakan kala langit terisak. Ranjang kami juga terbuat dari bilah-bilah bambu yang disatukan. Senantiasa meninggalkan derit kala kami hampiri dan tinggalkan. Derit yang seolah mengeluh tentang beban yang mendera dan rentanya usia.
Agak dibelakang sana, ada kandang ayam. Menyembul diantara angkuh pohon-pohon pisang. Tempat bagi ayam tidur dan berbiak. Sumur dan tempat mandi adai di sebelah kiri belakang rumah. Kuali besar sebagai pusat menampung air yang menyisakan sedikit ruang berbebat gedheg tipis setinggi dada orang dewasa. Beratapkan biru langit dan hijau dedaunan randu.
Ada bangunan agak terpisah dari rumah. Orang tuaku sering ada disana, siang ataupun malam. Aku pernah diajak kesana. Sayang tidak ada siapa-siapa didalamnya. Bila aku banyak bertanya dan terus bertanya, ibu biasanya marah. Berat tangan dan pedih bilur merah yang hinggap di ingatan. Ibu selalu mengakhiri dengan nasehat agar aku tidak bertanya dan berpikir macam-macam karena dari sanalah datangnya setan.
Seringkali bila aku terjaga di tengah malam, kudapati ranjang ayah-ibuku kosong. Dan aku tahu mereka ada di dalam bangunan itu. Merayu agar nasib mengubah arah jejak-jejaknya. Rayuan yang bersaing dengan nyanyian burung hantu di sebatang dahan di pohon randu yang mengharap pagi tak kunjung datang, hingga malam tak lekas berlalu.
*****
Ada kesedihan membentang kala aku harus berpisah dengan kedua orang tuaku saat usia sekolah. Aku coba berontak tapi sia-sia. Ibu meyakinkan bahwa di tempat baru aku bakal bahagia. Lebih bahagia. Sebenarnya ada sebongkah pertanyaan yang ingin kuberikan pada ibu, apakah ada kebahagiaan lain yang melebihi kebahagiaan seorang anak yang berkumpul dengan kedua oirang tuanya? Sayang tiba-tiba kenangan tentang tangan berat, rasa panas dan bilur merah yang pedih menyeruak. Hingga pertanyaan itu hanya jadi simpanan dalam relung goa hatiku. Ayah juga menyakinkan hal yang sama seperti biasanya. Aku tidak mengerti semua kata-kata mereka. Kepergianku hanya menyisakan tanya, tanpa air mata.
Sekolah Putih
Sekolah Putih itu begitu luas dan megah. Gerbang indah nan kokoh tampak dimuka. Pagar tinggi mengelilingi. Jauh apabila dibandingkan dengan rumahku. Ibu pernah bercerita bahwa hanya orang-orang terpilih saja yang bisa masuk kedalamnya. Disini banyak anak-anak seusiaku. Kami berteman, berbagi kisah dan sepi. Kerinduan menjauh walaupun pelan. Orang tua, rumah dan kampung halaman ditelan bulat-bulat oleh mulut waktu.
Guru-guru kami semua memakai pakaian serba putih. Mereka berkata bahwa putih adalah warna suci. Kelas-kelas kami bersih dari segala hal. Guru-guru menjelaskan semua itu bertujuan agar kami lebih berkonsetrasi pada materi yang diajarkan. Bertahun-tahun kami berusaha mengenal kesucian tanpa pedulikan jam, hari, tanggal dan bulan. Kami bahkan melupakan siang dan malam. Kami belajar melupakannya, sengaja kami lupakan segalanya. Otak-otak kami hanya diisi oleh segala hal tentang kesucian.
Ada waktu dimana kami boleh melihat semesta warna. Secara bergilir. Aku pernah mendapatkan kesempatan itu. Keluar dari gerbang dan melihat semesta warna. Bagiku banyak hal yang telah berubah, terutama dalam mataku. Aku hanya mendapati 2 warna dalam semesta. Hitam dan putih saja. Aku pun heran. Padahal seingatku dulu ada begitu banyak warna yang mampu dipungut oleh mata ini dari semesta. Kemana hilangnya warna-warna itu? Mengapa hanya tinggal dua warna saja?
Aku utarakan keherananku ini dihadapan para guru. Guru-guruku menjelaskan bahwa ada sebuah lentera kecil dalam hati kami. Pendar lentera itulah yang membuat warna-warni semesta memilah dan menyatu menjadi dua kutub warna saja. Karena warna-warna lain hanyalah bias pecahan warna turunan dari dua warna asal. Mereka juga menjelaskan semakin kecil pendar lentera itu, makin banyak bias pecahan warna turunan yang terpungut oleh mata. Kami mendengarkan kemudian menyimpannya dalam kepala, tanpa sanggah tanpa tanya. Seolah sebuah tradisi agung, kami jaga dan lakukan hal ini bertahun-tahun
Semesta Warna
Tiba saatnya kami diijinkan kembali ke semesta untuk selamanya. Dengan berat hati aku harus berpisah dengan teman dan para guru. Ada cahaya yang dititipkan pada ragaku. Kuemban juga amanat untuk menularkan cahaya itu ke semesta. Untuk menyatukan pecahan warna-warni dunia menjadi satu warna murni saja.
Aku ditugaskan turun ke sebuah desa, satu dari sebuah desa yang mengepung hutan. Bila terlihat dari atas layaknya sebuah semut yang ngepung sebongkah gula.
Aku datang bersama embun pagi buta dengan aroma basah. Kal itu hanya ada satu warna hitam yang tertangkap oleh mataku. Aku diterima dengan baik dan ramah. Kucoba temui Kepala Desa dan tokoh-tokoh disana. Pelan kukenalkan cahaya terang yang memancar dari ragaku pada mereka. Awalnya mereka merasa silau. Namun kemudian lambat laun berubah menjadi kagum oleh putih terangnya cahaya itu. Mereka memintaku agar sudi memberi sedikit saja cahaya terang itu untuk hiasan raga mereka.
Keinginan yang menjalar-jalar layaknya wabah, begitu banyak orang yang terpukau oleh cahaya putih terang yang terpancar dari ragaku. Mereka berbondong-bondong datang, memohon-mohon bahkan sampai bersujud segala demi cahaya yang sama memancar ditubuh mereka. Mereka begitu bersemangat mendesakku hingga aku jatuh disebuah ceruk. Tidak dapat menghindar, mengelak dan berkutik bahkan memalingkan muka.
Akhirnya terbentuklah Perkumpulan Cahaya di desa itu.
Desa di Tengah Hutan
Hidup yang mulus hanyalah impian belaka. Hidup selalu mengandung ujian, yang mendewasakan kata segelintir orang. Hidup yang kualami pun demikian.
Suatu ketika para pengikutku mulai resah karena suatu masalah. Ada sesuatu yang berwarna hitam dibalik hutan. Dalam pandangan mereka. Sebuah desa yang seolah tidak tersentuh oleh cahaya. Sebuah desa dimana warna hitamnya dengan cepat menyebar, begitu pendukungku mengartikannya.
Mataku juga menangkap hal yang sama. Ada warna hitam seperti lobang di tengah hutan sana. Mirip taburan meses diatas sebuah donat yang ditaruh pada sebuah piring poserlen putih. Warna putih begitu terlihat jelas dari luar namun tidak bisa menjamah lobang hitam ditengah-tengah kue. Black hole yang begitu dalam. Pengikutku melaporkan bahwa lobang itu kian membesar. Gara-gara sebuah donat diatas piring, pengikutku resah.
***
Dari kisah mereka pula kutahu sejarah asal mula desa ditengah hutan itu. Kisah sebuah desa yang mulai berdiri telah dikutuk. Desa yang didirikan oleh seorang perempuan yang terusir, akibat mengandung aib ditubuhnya. Aib yang begitu memalukan bagi warga desanya. Aib yang diyakini bakal mencemari dan menulari perempuan-perempuan lain di desa itu.
Di tengah hutan perempuan beraib itu melanjutkan hidup dan membiak. Membiakkan nista dan sengsara. Membiakkan kutukan bahwa ditempat itu umur lelaki tidak pernah lama.. Ia terus berbiak tanpa henti, membiakkan kesumatnya.
Setan kemudian berdiri dibelakangnya. Mendukung dan menyemangati bahkan menjadi gurunya. Perempuan itu mati moksa, dengan hati penuh tanya. Anak turunnya yang melanjutkan panjang tali kutukan. Hidup di desa yang berdiri lim,bung di tengah hutan.
Desa itu benar-benar miskin. Hanya ada gubuk-gubuk reot nan lapuk. Desa yang hanya berisi janda-janda dan anak-anak perempuan yang dekil juga kumal. Saking melaratnya mereka hanya mampu memakan tanah yang dibakar dan dedaunan hutan sebagai makanan.
Bertahun-tahun mereka hidup seperti itu. Tidak ada satupun warga desa di luar hutan yang berani masuk karena dihantui kutuk. Mereka takut tertular kesengsaraan dan kenistaan yang tebal mengambang. Mereka mencoba melupakannya, menutup rapat-rapat mata dan telinga hatinya. Mereka anggap semua itu karma, buah manis dosa.
Namun semuanya bewrubah ketika seorang perempuan—yang entah dari mana asal dan datangnya—hadir disana. Warga desa di pinggir hutan hanya ingat bahwa ia datang dengan harum bunga kenanga, tanpa ingat rupa. Perempuan inilah yang mengajari para penduduk desa d itengah hutan itu cara menjadi ulat yang rakus melahap ranum dedaunan dalah hutan. Mengajarkan memintal serat-serat hutan menjadi benang dan membuat kokon, pakaian kepompong bertapa. Ia juga yang memberikan ilmu membatik kesumat raga pada sayap kupu-kupu yang akan muncul di kebutaan pagi.
Akhirnya desa di tengah hutan itu penuh dengan kupu-kupu. Sayap mereka indah tersulam warna semesta. Setiap pagi kupu-kupu itu terbang bersama membentuk selendang warna semesta menghiasi langit ditingkahi pajar baskara pagi. Kata orang bahkan jauh lebih indah daripada bianglala. Membius mata selendang kupu-kupu itu turun ke kota.
Sejak itulah desa di tengah hutan itu tidak lagi mati ditusuk sepi. Hampir setiap saat orang kota berbondong-bondong kesana. Mereka datang untuk melihat kupu-kupu yang jenisnya jarang ditemukan di kota. Kupu-kupu yang kata mereka sangat indah tidak tertandingi keindahannya dari kupu-kupu di tempat manapun.
Jalan yang semula mati menjadi riuh kendaraan, tiada peduli siang atau malam. Jalan baru juga dibangun tanpa mengusikl tidur lelap hutan, tanpa mengusik tubuh ranum hutan. Gelombang yang semula kecil menjadi semakin besar. Bahkan orang-orang dari tempat lain juga berkunjung demi melihat keelokan sayap kupu-kupu di kala musim liburan. Terlihat warna hitam semakin pekat mengambangf diatas hutan. Sehitam jelaga. Menarik minat setiap orang untuk menjelajah dan dengan bahagia tersesat di dalamnya.
Penyerbuan
Masalah yang membuat pengikutku resah karena sudah banyak orang—dengan cahaya yang keluar dari raga—yang tersesat dan ditelan musnah tanpa bisa kembali. Resah karena hitam yang kian melebar. Mereka percaya bahwa hanya aku yang bisa mengatasinya. Anggapan yang menularkan resah jiwa-jiwa mereka ke kedalaman mataku.
***
Waktu yang aku minta untuk memikirkan jalan keluar dari masalah ini telah berakhir. Halaman depan Perkumpulan Pusat Cahaya penuh dengan para pengikutku. Baju putih yang mereka kenakan memantulkan cahaya baskara. Mereka semua menunggu keputusanku. Begitu aku keluar kamar. Terdengarlah sorak-sorai mereka bergemuruh. Aku hanya melambaikan tangan saja, mengibaskan iba dalam mata.
Mereka telah menunjuk lima wakil untuk berbebicara denganku, mereka telah beberapa hari dengan setia menunggu disebuah ruangan. Akupun ke sana. Begitu aku duduk, kelima wakil itu duduk membentuk formasi setengah melingkar dihadapanku. Aku temukan ketidaksabaran dalam bahasa tubuh mereka. Tanpa menunggu lama mereka segera melaporkan situasi yang terjadi.
“Guru, kami telahmengepung hutan dari segala penjuru. Kami telah gerakkan para pemuda kita di lima desa untuk itu. Kami telah siapkan berbagai senjata dan perlengkapannya. Setiap jengkal wajah hutan telah kami petakan, penguasaan medan sekaligus waktu penyerangan dengan cermat telah kami pertimbangkan. Kecil kemungkinan ada yang dapat lolos dari sana. Kami hanya tinggal menunggu aba-aba dari Guru saja maka serentak semua bergerak,” wakil kelima melaporkan semua secara bersemangat.
Tapi bukan itu yang menarik perhatianku, ada satu hal yang membetot mataku. Yaitu mata kelima para wkil pengikutku. Kedalaman mata mereka seolah bercerita sendiri padaku. Wakil pertama, seorang disebelah kiriku, kupungut demdam menyala dikedalaman matanya. Kisah tentang seorang suaminya yang lari dan tidak kembali ketika melihat indah sayap kupu-kupu di desa tengah hutan itu.
Wakil kedua, lelaki berkumis disebelahnya, dari matanya ia berdendang tentang demdam karena sengatan bisa dari kupu-kupu hingga ia tidak perkasa. Wakil ketiga, lelaki dengan hidung besar itu dalaman matanya keberkisah lain lagi. Tentang kekecewaan akan biaya melihat kupu-kupu yang semakin membumbung dan tidak mampu ia raih.
Wakil keempat, seorang lelaki gundul dengan tatapan mata yang tajam. Ada kejahatan dalam matanya dan rencana penjarahan sarang kupu-kupu. Konon kabar kokon-kokon kupu-kupu itu terbuat dari emas permata bukan serat-serat hutan semata. Wakil kelima, lelaki besenyum sinis, kutemukan rasa iri yang berhembus dan berbisik dari kedalaman matanya karena nasib yang selalu mempermainkan dirinya. Dan dekapan hangat nasip pada para kupu-kupu.
Ja Setelah diam beberapa lama aku angkat bicara. “Menurut kalian hukuman apa yang sebaiknya diberikan pada desa di tengah hutan yang penuh kupu-kupu itu?”. Kalimat-kalimat yang begitu saja keluar dari kekecewaan di kedalaman mata hatiku.
“Kita serbu dan musnahkan saja semua isi desa itu. Baik kupu-kupu atau bukan,” usul wakil kelima berapi-api.
“Jangan! Itu tidak adil. Kita harus memberikan sebuah pelajaran yang bakal diingat oleh generasi sekarang dan sesudahnya. Supaya dijadikan contoh,” kata wakil keempat menyanggah.
“Betul. Aku setuju mereka harus merasakan dulu buah manis dari dosa. Tidak begitu saja mati tanpa derita,” kata wakil kedua mendukung usul wakil keempat.
“Yah, aku setuju. Mereka harus membayar dosa beserta bunganya dan hidup untuk menghapusnya sehingga tidak bakal terulangi. Hal ini lebih berarti daripada membumi hanguskan isi desa,” tambah wakil pertama.
“Semula bermula dosa mereka. Guru, ijinkan saya bertanya dari mana dosa bermula?” tiba-tiba wakil ketiga bertanya kepadaku.
Jawabku lirih hampir tak bersuara, seolah suara gumaman, “Dari mana dosa bermula.” Mendengar jawabanku, seperti kelima wakil itu tanggap, mereka mengangguk bersama dan kemudian pamit keluar ruangan. Masih tertinggal gemuruh kaki-kaki para wakil dan pengikutku ditelinga kala aku keluar ruangan. Berganti sunyi, aku begitu terkejut kala kulihat semesta. Hanya pekat hitam terpungut darinya pada kedalaman mataku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar