Sabtu, 18 Juni 2016

Ziarah ke Makam Wali

Troloyo, Mojokerto 2016


Apa arti perjalanan ziarah, tanpa menapak tilas sejarah dan menengok yang pedih dan yang dahsyat di masa silam? tulis Goenawan Mohamad dalam Mekah.

Saya setuju bahwa ziarah adalah menapak jejak masa lalu, sedang sesuatu yang pedih dan yang dahsyat di masa silam mungkin saya harus dengar kisahnya terlebih dulu untuk memahaminya.

Kebiasaan saya ngelayap ke candi-candi adalah karena saya suka kisah-kisah yang terpahat pada reliefnya dan juga kagum pada bangunannya. Selain ada alasan personal tentunya.

Kebiasaan ini bermula bila hati saya lagi galau, saya main ke candi. Dan, entah bagaimana perasaan saya jadi tenang sesudahnya.

Kebetulan ada candi yang dekat dengan rumah orang tua saya yaitu Candi Tegowangi.

Kebiasaan itu agak berkurang saat kyai memberi saran pada saya bila lagi galau lebih baik ke makam kuno Setono Gedong, di Kediri Kota. Makam seorang wali yang orang umum menyebutnya mbah Wasil.

Untuk mengetahui sejarah lengkap artikelnya ada disini.

Ziarah ke makam wali bagi saya merupakan hal yang tidak biasa saya lakukan. Saya terbiasa ziarah hanya pada leluhur-leluhur saya saja. Mereka yang punya jalur kekerabatan dengan keluarga saya.

Selain itu pernah ada pengalaman "aneh" waktu diajak teman karib saya ke makam Sunan Ampel. Kala itu bulan Ramadhan dan teman saya ini mengajak i'tikaf di masjid Sunan Ampel. Hal tersebut yang membuat saya enggan ke makam-makam para wali.

Kyai menyakinkan bahwa saya bakal diterima bila ziarah di makam Setono Gedong, karena masih punya jalurnya. Lalu beliau berkisah tentang sejarah jalur keluarga ibu saya dan hubungannya dengan Kediri.

Sejak itu saya sering main ke Setono Gedong, yah meski dibandingkan dengan Candi Tegowangi letaknya lebih jauh.

Berbeda dengan saya, orang tua saya sering ikut ziarah ke makam wali baik ke Jawa ataupun Bali, semenjak beliau berdua pensiun.

Dan awal Mei 2016 lalu saya diminta pulang untuk diajak ziarah ke makam wali yang di Bali.

Ternyata jadwal yang ditetapkan tidak fix, padahal saya sudah terlanjur beli tiket dan mengajukan cuti yang tentu tanggalnya tidak bisa diubah-ubah.


Akhirnya saya ngelayap sendiri ke Trowulan, Mojokerto. Telah lama saya ingin mengunjungi candi-candi di daerah tersebut dan sekalian ke makam Troloyo yang sering saya dengar namanya.

Ziarah ke makam Troloyo adalah ziarah saya ke makam wali urutan ketiga, selain ke makam Sunan Ampel dan Setono Gedong.

Saya datang waktu itu pagi hari, kawasan makam terasa sepi namun ada beberapa rombongan peziarah dari luar kota datang beberapa menit kemudian.

Setiap kali saya pulang ke Jawa, saya selalu sempatkan main ke rumah kyai. Baik ada perlunya maupun tidak.

Kali ini saya kesana karena ingin mendapatkan penjelasan tentang pengalaman personal saya saat ziarah ke makam Troloyo. Namun kyai tidak menjelaskan apapun.

Beliau hanya bercerita bahwa habis ikut rombongan ziarah ke wali lima bersama putra dan saudara sepupunya. Pulang ziarah sakit akhirnya berobat ke dokter.



Kyai menceritakan pengalaman personal beliau saat ziarah. Namun saya tangkap intinya, yang secara tidak langsung memberikan penjalasan pada hal yang saya tanyakan.

Beliau juga berpesan bahwa sebaiknya kita persiapkan terlebih dahulu mental sebelum berziarah. Niat dan hati kita. Kemudian membawa bekal sendiri saat berziarah hingga tidak membeli makanan di jalan. Agar kita dapat inti dari ziarah tersebut. 



Saya paham aturan tersebut. Aturan dasar yang berlaku dan sudah lama saya kenal.

Intinya adalah tekad bulat lahir maupun batin dalam mengerjakan sesuatu dan menahan segala godaan saat menjalaninya.

Selama saya berziarah selalu bawa bekal baik makanan ataupun air minum sendiri dan tidak mampir-mampir wisata kuliner. Sejalan dengan yang disarankan kyai.

Meski jujur saya akui, sebetulnya bukan tahan godaan namun lebih karena otak kapitalis saya yang tidak mau berhenti berhitung ...ha3x




Troloyo, Mojokerto 2016


  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar