Kamis, 20 Juli 2017

Mata ( Dari Mata Dosa Bermula)

PROLOG
Selalu ada sifat tergesa-gesa di kalangan orang yang penuh keyakinan, ketika mereka hendak mencapai satu keadaan di mana keyakinan itu terjaga murni, tak lagi dicemari suara dan pikiran yang mengganggu.
”Apa yang paling tuan takutkan dalam perkara kemurnian?”
”Sifat tergesa-gesa,” jawab William.
Percakapan dalam novel Il Nome de la Rosa Umberto Eco.
Kita hanyalah penafsir tanda-tanda, di mana kebenaran menerakan jejaknya. Itu sebabnya kata pertama yang menakjubkan adalah: ”Bacalah”.
( Goenawan Mohamad : Bom / Buku, Caping Tempo Interaktif )


Aku dan Kunang-Kunang Raksasa

Sudah beberapa hari aku tidak tidur, baik siang maupun malam, hanya untuk memohon petunjuk atas sebuah permasalahan yang sedang aku hadapi. Masalah yang membuat resah baik hatiku juga hati para pengikutku. Malam ini malam ketujuh, di luar sunyi hanya ada hitam bayang pepohonan dan nyanyian burung malam.
Seekor kunang-kunang muncul begitu saja di dalam kamar, seolah keluar dari balik tembok. Ia menghampiriku, kemudian tanpa malu-malu hinggap di pucuk jari. Ia kemudian membawaku terbang tanpa tanya, keluar kamar. Ia membawaku ke dalam gelap malam. Tubuhnya kemudian meraksasa seperti dipompa. Aku beringsut naik keatas punggungnya. Entah, bagaimana ia melakukannya. Aku juga heran. Tapi tak banyak waktu yang diberikan padaku untuk bernalar. Aku dibawa ke suatu tempat dimana suara dan logika tidak berguna. Dimana masuk dan keluar adalah sebuah hal yang sama, tanpa pembenaran dan tanpa keberpihakan.
Ada seorang berpakaian putih, dengan cahaya putih menyilaukan keluar dari seluruh pori tubuhnya. Ia sama dan serupa denganku, tapi ia bukan aku. Segunung keresahan dibawa di pundaknya. Keresahan yang berasal dari hati para pengikutnya yang tertular dalam kedalaman matanya layaknya hama.
Mata yang juga bercerita tentang sebuah warna hitam yang sangat hitam, begitu kuat hingga tak tertembus oleh silau cahaya yang keluar dari tubuhnya. Oleh sebab itu berhari-hari ia korbankan lelap tidurnya, memohon petunjuk dalam sepi pada tempat yang tinggi.
Sepertinya permohonannya terkabul, ditemuinya jalan keluar itu sedang tergantung-gantung di udara. Dia cepat-cepat meraih dan menyimpannya diantara lipatan-lipatan dan dalam kepalanya. Ia datangi resah pengikutnya, dikisahkannya tentang sebuah kisah, lirih hampir tanpa suara. Mirip gumam mungkin juga erang. Namun aku temukan kekejaman di dalamnya.
Gumam ataupun erang yang begitu lantang terdengar bagiku. Mungkin karena tubuhnya begitu mirip denganku, namun dia bukan aku. Gumam, yang isinya menyengatku hingga mampu menggetarkan tubuhku dan menjatuhkan aku dari punggung kunang-kunang raksasa yang kutunggangi.
Tentang empat ekor kuda dan serat dari tubuh manusia. Ada nyeri yang berbalur ngeri dalam hati. Seolah tahu keadaanku, kunang-kunang raksasa membawaku menjauh dari tempat itu. Kini yang ada hanya hitam disekelilingku, membawa ingatanku pada sahabat lamaku, rahim ibu.
Kunang-kunang itu membawaku ke tempat lain, dimana hanya ruang dengan sebuah mata yang mengambang. Mata yang teduh dan indah. Pelupuk yang selalu tergenang. Mata yang seolah lama kukenal dan mengenalku. Keras aku perintahkan otak mengingat, tentang mata itu. Setelah agak lama aku mampu mengenalinya. Yah..itu mata ibu. Namun aku masih ragu.
Aku kemudian melongok ke dalam kedalaman mata untuk memastikannya, karena seingatku ada luka disana. Kutemukan lobang luka itu. Menganga besar dan dalam tidak seperti yang terpatri diingatan. Seekor ular keluar dari kedalamannya, melata dan pamer desis. Aku temukan hitam setan meringkuk di mata ular. Sekali lagi kunang-kunang raksasa membawaku menjauh. Hitam tanpa tepi.
Aku duduk dalam kamar, kunang-kunang kecil masih hinggap pada pucuk jari jari. Ringan tanpa beban, ia melenggang. Pergi dengan pendar pada ujung pantatnya.

Istana Masa

Aku terlahir dari keluarga sederhana kata para pejabat, mlarat kata para tetangga. Ayahku hanyalah seorang petani kecil, petani gurem (tololnya sewaktu kecil aku percaya bahwa kutu ayam itu juga ditanam di sawah) yang hanya memiliki sepetak tanah. Sawah hasil warisan dari ayahnya ayah. Sawah yang bahkan hasilnya tidak cukup untuk memberi kenyang  selama 2 bulan. Oleh karena itu, ayah dan ibuku selalu berjuang keras untuk merncukupi hidup yang selalu lapar dan menuntut. Memutar keras otak dan otot mereka untuk mencukupi kebutuhanku, anak semata wayang tersayang.
Kerja keras apa pun mereka lakukan demi mengumpulkan serpihan-serpihan asap dapur, untuk menyumpal protes yang selalu keluar dari mulut perutku. Meski begitu nasib masih juga membutakan hati dan matanya, tidak juga tersentuh oleh keras usaha mereka. Bahkan tidak peduli tetes-tetes keringat yang menderas dan wajah-wajah letihnya. Rupanya nasib juga enggan memihak orang papa.
Kami lebih sering berpuasa daripada makan. Kami lebih akrab dengan tangan-tangan lembut lapar. Namun tak pernah kulihat orang tuaku marah atau mencaci nasib. Ibu selalu berkata padaku bahwa puasa itu baik, dan mampu mencegah penyakit dan lebih utama adalah merubah jejak tulisan sang nasib.
Aku selalu mengangguk seolah mengerti, paham dan setuju. Hanya demi menghentikan sebuah genangan-- yang selalu kuingat itu-- agar tidak jatuh ke permukaan bumi. Ayah juga bertutur hal yang sama. Mungkin ayah seperti halnya ibu, tidak tahu bahwa aku mampu membaca keletihan dan gurat-gurat kegetiran hidup yang menumpuk di kedalaman mata mereka.
*****
Rumahku istanaku. Berdinding gedheg (bilah-bilah bambu yang ditipiskan kemudian diayam) berbedak putihnya kapur. Dinding yang menaburkan serpihan putih yang sepedih nasib bila mengenai mata. Lantainya hitam tanah, yang menyeruapkan lembab udara bumi. Genting yang menaunginya tua, keriput oleh usia dan lumut. Genting yang selalu setia meneruskan bias pucat sang bagaskara kala langit gembira. Atau ramah sapa tetes hujan yang seringkali membuat kami kelabakan kala langit terisak. Ranjang kami juga terbuat dari bilah-bilah bambu yang disatukan. Senantiasa meninggalkan derit kala kami hampiri dan tinggalkan. Derit yang seolah mengeluh tentang beban yang mendera dan rentanya usia.
Agak dibelakang sana, ada kandang ayam. Menyembul diantara angkuh pohon-pohon pisang. Tempat bagi ayam tidur dan berbiak. Sumur dan tempat mandi adai di sebelah kiri belakang rumah. Kuali besar sebagai pusat menampung air yang menyisakan sedikit ruang berbebat gedheg tipis setinggi dada orang dewasa. Beratapkan biru langit dan hijau dedaunan randu.
Ada bangunan agak terpisah dari rumah. Orang tuaku sering ada disana, siang ataupun malam. Aku pernah diajak kesana. Sayang tidak ada siapa-siapa didalamnya. Bila aku banyak bertanya dan terus bertanya, ibu biasanya marah. Berat tangan dan pedih bilur merah yang hinggap di ingatan. Ibu selalu mengakhiri dengan nasehat agar aku tidak bertanya dan berpikir macam-macam karena dari sanalah datangnya setan.
Seringkali bila aku terjaga di tengah malam, kudapati ranjang ayah-ibuku kosong. Dan aku tahu mereka ada di dalam bangunan itu. Merayu agar nasib mengubah arah jejak-jejaknya. Rayuan yang bersaing dengan nyanyian burung hantu di sebatang dahan di pohon randu yang mengharap pagi tak kunjung datang, hingga malam tak lekas berlalu.
*****
Ada kesedihan membentang kala aku harus berpisah dengan kedua orang tuaku saat usia sekolah. Aku coba berontak tapi sia-sia. Ibu meyakinkan bahwa di tempat baru aku bakal bahagia. Lebih bahagia. Sebenarnya ada sebongkah pertanyaan yang ingin kuberikan pada ibu, apakah ada  kebahagiaan lain yang melebihi kebahagiaan seorang anak yang berkumpul dengan kedua oirang tuanya? Sayang tiba-tiba kenangan tentang tangan berat, rasa panas dan bilur merah yang pedih menyeruak. Hingga pertanyaan itu hanya jadi simpanan dalam relung goa hatiku. Ayah juga menyakinkan hal yang sama seperti biasanya. Aku tidak mengerti semua kata-kata mereka. Kepergianku hanya menyisakan tanya, tanpa air mata.

Sekolah Putih

Sekolah Putih itu begitu luas dan megah. Gerbang indah nan kokoh tampak dimuka. Pagar tinggi mengelilingi. Jauh apabila dibandingkan dengan rumahku. Ibu pernah bercerita bahwa hanya orang-orang terpilih saja yang bisa masuk kedalamnya. Disini banyak anak-anak seusiaku. Kami berteman, berbagi kisah dan sepi. Kerinduan menjauh walaupun pelan. Orang tua, rumah dan kampung halaman ditelan bulat-bulat oleh mulut waktu.
Guru-guru kami semua memakai pakaian serba putih. Mereka berkata bahwa putih adalah warna suci. Kelas-kelas kami bersih dari segala hal. Guru-guru menjelaskan semua itu bertujuan agar kami lebih berkonsetrasi pada materi yang diajarkan. Bertahun-tahun kami berusaha mengenal kesucian tanpa pedulikan jam, hari, tanggal dan bulan. Kami bahkan melupakan siang dan malam. Kami belajar melupakannya, sengaja kami lupakan segalanya. Otak-otak kami hanya diisi oleh segala hal tentang kesucian.
Ada waktu dimana kami boleh melihat semesta warna. Secara bergilir. Aku pernah mendapatkan kesempatan itu. Keluar dari gerbang dan melihat semesta warna. Bagiku banyak hal yang telah berubah, terutama dalam mataku. Aku hanya mendapati 2 warna dalam semesta.  Hitam dan putih saja. Aku pun heran. Padahal seingatku dulu ada begitu banyak warna yang mampu dipungut oleh mata ini dari semesta. Kemana hilangnya warna-warna itu? Mengapa hanya tinggal dua warna saja?
 Aku utarakan keherananku ini dihadapan para guru. Guru-guruku menjelaskan bahwa ada sebuah lentera kecil dalam hati kami. Pendar lentera itulah yang membuat warna-warni semesta memilah dan menyatu menjadi dua kutub warna saja. Karena warna-warna lain hanyalah bias pecahan warna turunan dari dua warna asal. Mereka juga menjelaskan semakin kecil pendar lentera itu, makin banyak bias pecahan warna turunan yang terpungut oleh mata. Kami mendengarkan kemudian menyimpannya dalam kepala, tanpa sanggah tanpa tanya. Seolah sebuah tradisi agung, kami jaga dan lakukan hal ini bertahun-tahun

Semesta Warna

Tiba saatnya kami diijinkan kembali ke semesta untuk selamanya. Dengan berat hati aku harus berpisah dengan teman dan para guru. Ada cahaya yang dititipkan pada ragaku. Kuemban juga amanat untuk menularkan cahaya itu ke semesta. Untuk menyatukan pecahan warna-warni dunia menjadi satu warna murni saja.
Aku ditugaskan turun ke sebuah desa, satu dari sebuah desa yang mengepung hutan. Bila terlihat dari atas layaknya sebuah semut yang ngepung sebongkah gula.
Aku datang bersama embun pagi buta dengan aroma basah. Kal itu hanya ada satu warna hitam yang tertangkap oleh mataku. Aku diterima dengan baik dan ramah. Kucoba temui Kepala Desa dan tokoh-tokoh disana. Pelan kukenalkan cahaya terang yang memancar dari ragaku pada mereka. Awalnya mereka merasa silau. Namun kemudian lambat laun berubah menjadi kagum oleh putih terangnya cahaya itu. Mereka memintaku agar sudi memberi sedikit saja cahaya terang itu untuk hiasan raga mereka.
Keinginan yang menjalar-jalar layaknya wabah, begitu banyak orang yang terpukau oleh cahaya putih terang yang terpancar dari ragaku.  Mereka berbondong-bondong datang, memohon-mohon bahkan sampai bersujud segala demi cahaya yang sama memancar ditubuh mereka. Mereka begitu bersemangat mendesakku hingga aku jatuh disebuah ceruk. Tidak dapat menghindar, mengelak dan berkutik bahkan memalingkan muka.
Akhirnya terbentuklah Perkumpulan Cahaya di desa itu.

Desa di Tengah Hutan

Hidup yang mulus hanyalah impian belaka. Hidup selalu mengandung ujian, yang mendewasakan kata segelintir orang. Hidup yang kualami pun demikian.
Suatu ketika para pengikutku mulai resah karena suatu masalah. Ada sesuatu yang berwarna hitam dibalik hutan. Dalam pandangan mereka. Sebuah desa yang seolah tidak tersentuh oleh cahaya. Sebuah desa dimana warna hitamnya dengan cepat menyebar, begitu pendukungku mengartikannya.
Mataku juga menangkap hal yang sama. Ada warna hitam seperti lobang di tengah hutan sana. Mirip taburan meses diatas sebuah donat yang ditaruh pada sebuah piring poserlen putih. Warna putih begitu terlihat jelas dari luar namun tidak bisa menjamah lobang hitam ditengah-tengah kue. Black hole yang begitu dalam. Pengikutku melaporkan bahwa lobang itu kian membesar. Gara-gara sebuah donat diatas piring, pengikutku resah.
***
Dari kisah mereka pula kutahu sejarah asal mula desa ditengah hutan itu. Kisah sebuah desa yang mulai berdiri telah dikutuk. Desa yang didirikan oleh seorang perempuan yang terusir, akibat mengandung aib ditubuhnya. Aib yang begitu memalukan bagi warga desanya. Aib yang diyakini bakal mencemari dan menulari perempuan-perempuan lain di desa itu.
Di tengah hutan perempuan beraib itu melanjutkan hidup dan membiak. Membiakkan nista dan sengsara. Membiakkan kutukan bahwa ditempat itu umur lelaki tidak pernah lama.. Ia terus berbiak tanpa henti, membiakkan kesumatnya.
Setan kemudian berdiri dibelakangnya. Mendukung dan menyemangati bahkan menjadi gurunya. Perempuan itu mati moksa, dengan hati penuh tanya. Anak turunnya yang melanjutkan panjang tali kutukan. Hidup di desa yang berdiri lim,bung di tengah hutan.
Desa itu benar-benar miskin. Hanya ada gubuk-gubuk reot nan lapuk. Desa yang hanya berisi janda-janda dan anak-anak perempuan yang dekil juga kumal. Saking melaratnya mereka hanya mampu memakan tanah yang dibakar dan dedaunan hutan sebagai makanan.
Bertahun-tahun mereka hidup seperti itu. Tidak ada satupun warga desa di luar hutan yang berani masuk karena dihantui kutuk. Mereka takut tertular kesengsaraan dan kenistaan yang tebal mengambang. Mereka mencoba melupakannya, menutup rapat-rapat mata dan telinga hatinya. Mereka anggap semua itu karma, buah manis dosa.
Namun semuanya bewrubah ketika seorang perempuan—yang entah dari mana asal dan datangnya—hadir disana. Warga desa di pinggir hutan hanya ingat bahwa ia datang dengan harum bunga kenanga, tanpa ingat rupa. Perempuan inilah yang mengajari para penduduk desa d itengah hutan itu cara menjadi ulat yang rakus melahap ranum dedaunan dalah hutan. Mengajarkan memintal serat-serat hutan menjadi benang dan membuat kokon, pakaian kepompong bertapa. Ia juga yang memberikan ilmu membatik kesumat raga pada sayap kupu-kupu yang akan muncul di kebutaan pagi.
Akhirnya desa di tengah hutan itu penuh dengan kupu-kupu. Sayap mereka indah tersulam warna semesta. Setiap pagi kupu-kupu itu terbang bersama membentuk selendang warna semesta menghiasi langit ditingkahi pajar baskara pagi. Kata orang bahkan jauh lebih indah daripada bianglala. Membius mata selendang kupu-kupu itu turun ke kota.
Sejak itulah desa di tengah hutan itu tidak lagi mati ditusuk sepi. Hampir setiap saat orang kota berbondong-bondong kesana. Mereka datang untuk melihat kupu-kupu yang jenisnya jarang ditemukan di kota. Kupu-kupu yang kata mereka sangat indah tidak tertandingi keindahannya dari kupu-kupu di tempat manapun.
Jalan yang semula mati menjadi riuh kendaraan, tiada peduli siang atau malam. Jalan baru juga dibangun tanpa mengusikl tidur lelap hutan, tanpa mengusik tubuh ranum hutan. Gelombang yang semula kecil menjadi semakin besar. Bahkan orang-orang dari tempat lain juga berkunjung demi melihat keelokan sayap kupu-kupu di kala musim liburan.  Terlihat warna hitam semakin pekat mengambangf diatas hutan. Sehitam jelaga. Menarik minat setiap orang untuk menjelajah dan dengan bahagia tersesat di dalamnya.

Penyerbuan

Masalah yang membuat pengikutku resah karena sudah banyak orang—dengan cahaya yang keluar dari raga—yang tersesat dan ditelan musnah tanpa bisa kembali. Resah karena hitam yang kian melebar. Mereka percaya bahwa hanya aku yang bisa mengatasinya. Anggapan yang menularkan resah jiwa-jiwa mereka ke kedalaman mataku.
***
Waktu yang aku minta untuk memikirkan jalan keluar dari masalah ini telah berakhir. Halaman depan Perkumpulan Pusat Cahaya penuh dengan para pengikutku. Baju putih yang mereka kenakan memantulkan cahaya baskara. Mereka semua menunggu keputusanku. Begitu aku keluar kamar. Terdengarlah sorak-sorai mereka bergemuruh. Aku hanya melambaikan tangan saja, mengibaskan iba dalam mata.
Mereka telah menunjuk lima wakil untuk berbebicara denganku, mereka telah beberapa hari dengan setia menunggu disebuah ruangan. Akupun ke sana. Begitu aku duduk, kelima wakil itu duduk membentuk formasi setengah melingkar dihadapanku. Aku temukan ketidaksabaran dalam bahasa tubuh mereka. Tanpa menunggu lama mereka segera melaporkan situasi yang terjadi.
“Guru, kami telahmengepung hutan dari segala penjuru. Kami telah gerakkan para pemuda kita di lima desa untuk itu. Kami telah siapkan berbagai senjata dan perlengkapannya. Setiap jengkal wajah hutan telah kami petakan, penguasaan medan sekaligus waktu penyerangan dengan cermat telah kami pertimbangkan. Kecil kemungkinan ada yang dapat lolos dari sana. Kami hanya tinggal menunggu aba-aba dari Guru saja maka serentak semua bergerak,” wakil kelima melaporkan semua secara bersemangat.
Tapi bukan itu yang menarik perhatianku, ada satu hal yang membetot mataku. Yaitu mata kelima para wkil pengikutku. Kedalaman mata mereka seolah bercerita sendiri padaku. Wakil pertama, seorang disebelah kiriku, kupungut demdam menyala dikedalaman matanya. Kisah tentang seorang suaminya yang lari dan tidak kembali ketika melihat indah sayap kupu-kupu di desa tengah hutan itu.
Wakil kedua, lelaki berkumis disebelahnya, dari matanya ia berdendang tentang demdam karena sengatan bisa dari kupu-kupu hingga ia tidak perkasa. Wakil ketiga, lelaki dengan hidung besar itu dalaman matanya keberkisah lain lagi. Tentang kekecewaan akan biaya melihat kupu-kupu yang semakin membumbung dan tidak mampu ia raih.
Wakil keempat, seorang lelaki gundul dengan tatapan mata yang tajam. Ada kejahatan dalam matanya dan rencana penjarahan sarang kupu-kupu. Konon kabar kokon-kokon kupu-kupu itu terbuat dari emas permata bukan serat-serat hutan semata. Wakil kelima, lelaki besenyum sinis, kutemukan rasa iri yang berhembus dan berbisik dari kedalaman matanya karena nasib yang selalu mempermainkan dirinya. Dan dekapan hangat nasip pada para kupu-kupu.
Ja Setelah diam beberapa lama aku angkat bicara. “Menurut kalian hukuman apa yang sebaiknya diberikan pada desa di tengah hutan yang penuh kupu-kupu itu?”. Kalimat-kalimat yang begitu saja keluar dari kekecewaan di kedalaman mata hatiku.
“Kita serbu dan musnahkan saja semua isi desa itu. Baik kupu-kupu atau bukan,” usul wakil kelima berapi-api.
“Jangan! Itu tidak adil. Kita harus memberikan sebuah pelajaran yang bakal diingat oleh generasi sekarang dan sesudahnya. Supaya dijadikan contoh,” kata wakil keempat menyanggah.
“Betul. Aku setuju mereka harus merasakan dulu buah manis dari dosa. Tidak begitu saja mati tanpa derita,” kata wakil kedua mendukung usul wakil keempat.
“Yah, aku setuju. Mereka harus membayar dosa beserta bunganya dan hidup untuk menghapusnya sehingga tidak bakal terulangi. Hal ini lebih berarti daripada membumi hanguskan isi desa,” tambah wakil pertama.
“Semula bermula dosa mereka. Guru, ijinkan saya bertanya dari mana dosa bermula?” tiba-tiba wakil ketiga bertanya kepadaku.
Jawabku lirih hampir tak bersuara, seolah suara gumaman, “Dari mana dosa bermula.” Mendengar jawabanku, seperti kelima wakil itu tanggap, mereka mengangguk bersama dan kemudian pamit keluar ruangan. Masih tertinggal gemuruh kaki-kaki para wakil dan pengikutku ditelinga kala aku keluar ruangan. Berganti sunyi, aku begitu terkejut kala kulihat semesta. Hanya pekat hitam terpungut darinya pada kedalaman mataku.

Jumat, 05 Mei 2017

Yuk ajak anak bermain di luar rumah :)



Bermain di luar rumah memberikan anak kesempatan untuk lebih aktif bergerak dan melakukan hal-hal yang menantang. Dunia anak adalah dunia bermain. Kreativitas anak seringkali timbul kala bermain.

Bermain di luar rumah membuat anak bebas bereksplorasi, mengenal alam sehingga rasa ingin tahu yang besar tersalurkan. Kemampuan motorik kasar dan kognitif terstimulasi.

Anak-anak yang aktif seringkali memiliki pola makan dan pola tidur yang baik. Paparan udara yang segar serta cahaya matahari membuat tidur anak berkualitas.

Bermain di luar rumah juga memberi kesempatan anak mengenal beragam orang. Meningkatkan kemampuan interaksi sosialnya.

Berbicara tentang resiko bermain baik di dalam atau di luar rumah selalu ada. Awasi dan dampingi anak utamanya balita, pastikan tempat bermainnya aman.

Pendampingan anak saat bermain di luar rumah adalah hal yang serius. Jadi sebaiknya singkirkan smartphone Anda selama mendampingi si Kecil.

Terjatuh atau terluka, kotor, digigit serangga, adalah hal yang biasa terjadi saat bermain di luar rumah. Orang tua tidak perlu panik, Sagha Ultimate Theramedic Oil bisa jadi P3K andalan bagi mereka.

Tetap tenang sambil menenangkan anak agar mereka berani bereksplorasi lagi. Orang tua bisa berkomunikasi sambil memberikan penjelasan mengapa resiko seperti itu terjadi sehingga bisa menjadi bekal pengetahuan dan pengalaman si anak.

Sb. artikel kompas.

Jumat, 24 Juni 2016

Calon Arang

Manggali nangis ngguguk, banyu mripat kang bening tumetes, ceblok nelesi raiku. Nanging tangismu iku tan conggah nyandhet lakune pepati kang mrambat alon saka sikilku.

Wit waru tua alon ngobahke godhong-godhonge kang awangun jantung, wangun kang memper godhong dadap. Godhong kang asring ngedhemake sumere bocah.

Ah, wangun kang padha nanging beda. Siji alus sijine ora. Cupete nalar manungsa kang dadekake beda. Nalika kabeh samubarang tansah kaukur dening mata dudu wening pangrasa.

Weruh tangismu, Manggali, aku kelingan marang pitakonmu kang uga kairing tangis nalika iku.

"Mbok, apa dadi prawan tua iku merga supata para dewa?"

Pitakonan kang aku ora pengin mangsuli. Pitakonan kang banget nujum ati, ninggal tatu jeru lan nanah kusumat.

Mula sore iku kowe takjak nyawang candhikala, kang mbranang ing pucuk-pucuk langit sisih kulon. Kaya ngono atiku nalika kuwi.

Manggali, apa kowe ora krasa menawa urip kuwi kebak supata?

Lair ana ndonya wae wis minangka supata. Ora ana rembug lan pitakonan sakdurunge. Ora ana pitakonan kanggo milih dadi paraga becik apa ala.

Mung jerit sora kang kawetu, amarga kaget nyesep ruwet hawa ndonya. Jerit minangka grundelan kang tansah mbengung lan tan kendhat ngubengi jangkah urip.

Apamaneh nalika kinodrat dadi wanodya, supata tan kinira. Ndonya cinipta kanggo priya, nganggo pranatan priya minangka busana. Ala-becike wanodya uga gumandhul marang priya, ana pangucape lan isi bathuke.

Wanodya mung rerenggan kanggo jangkep-jangkepan, tan bedha kaya griya (omah), turangga (jaran), curiga (keris) lan kukila (manuk).

Manggali, tak kira kowe wis tau krungu menawa wanodya cinipta saka balung priya kang musna?


Crita ngayawara kang digawa maruta (angin), kasebar rata ngebaki donya. Kabeh ngerthi saka sapa kawitane crita, nadyan ora kawuwus. Panduga kang tua lan sumebar rata.

Kang dadekake wanodya wanodya ora bakal bisa sababag karo priya. Ala-becike priya tansah sinawang becik, sinawang saka gegana, kaendrane para dewa.

Manggali, apa kowe isih kelingan nalika takajak nyawang langit lan mega?

Dewa-dewa kae uga priya. Widodari kang ana sisihe mung rerenggan, jangkepan, kang bisa dadi bebana kanggo jago dewa.

Kang asring uga kapamerake kaendahane. Kabar kang sumebar crita menawa saya suci, cahya widodari saya mblerengi, pindha ratna. Tansaya aji lan peni meningka rerenggan. Mula kuwi para widodari kudu ngempit rapet kasucen, kajunjung dhuwur ana sadhuwure mustaka (sirah).

Kasucen kang luwih aji tinimbang nyawa.

Takkira kowe isih kelingan marang lelakone Kunthi kang dolanan Aji Adityahredaya peparinge Begawan Druwasa. Amarga pokal cuthake Dewa Surya,

Kunthi kapeksa nglairake liwat talinga (kuping). Ora mandeg tekan semono, Kunthi uga kudu pisah lan nglarung sang atmaja menyang narmada (kali).

Lelakone Windradi tan beda, amarga pokale Dewa Surya, widodari ayu kuwi sinabda kang garwa dadi tugu sinukerta.

Bethari Uma mangkono uga.

Amarga gedhene rasa tresna marang Bethara Guru nganthi lali ora njunjung dhuwur kasucene ana dhuwur mustaka, katinggalake ing pinggir kali. Uma njur sinabda dadi Hyang Permani Durga, ratu dhemit kang ala ing rupa kanggo nebus dosa kang ora sepira.

Wondene Dewa Surya ora nampa paukuman nadyan pokale ala. Bethara Guru dhewe, apa lali marang kamane kang kaecer-ecer tanpa ngerthi empan-papan njur dadi kama salah? Lali marang Bathara Kala, Anoman?

Amarga kanggone pranatan priya mung wanodya kang nggawe isin lan nistha. Wanodya tansah kapidara dan kapidana wiwit jaman kuna. Mula aku nyembah Durga, widodari kang kaaniaya. Wanodya kang nebus dosa ora sepira.

Manggali, anakku cah ayu.

Pranatan edan para Dewa katurunanke menyang donya liwat keluk padupan ana candi-candi. Liwat impene para raja lan pandhita. Kang njur kacakna dadi paugeran kang njiret wanodya, kaya dene rapete panjirete jarit ana angga lan dadegake sesegke dada lan laku dadi rekasa.

Suwara sora lan sewu tumbak bakal metu saka mripat-mripat paugeran menawa ana wanodya dadi randa utawa prawan tuwa. Nanging mripat-mripat bakal merem lan mingkem nalika lelakon kang pada tumiba marang anggane priya.

Manggali, ana dosa kang kinandhut raga wanodya.

Dosa apa supata, kang asale ora cetha. Maruta kang ngganda menehi crita menawa wanodya nggawa nirwana. Crita ngayuwara kanggo nurokake wanodya, ngerem-erem mata saupaya ora takon rena-rena.

Nyatane kawah candradimuka isine saperangan gedhe wanodya, sakabehe mala sinebut saka pokale wanodya. Wanodya kang jarene nggarahi dredah, perang negara. Wanodya kang jae nabur wisa ana wengi kang atis, menyang tlapukan-tlapukan mata supaya priya laku dosa.

Apa dudu kuwi kang aran wujud supata dewa marang anggane wanodya?

Manggali, bocah ayu kadya candra.

Priya nyebut dhewe minangka dahana (geni), wanodya mung sinebut bantala (lemah). Dahana tansah madangi donya, oleh miyar-miyur kagondhol samirana (angin). Miyar-miyur saka paugerane para Dewa.

Suwalike bantala tansah kapidhak tan oleh sesambat, kudu sidhem nrima panandhang kang tan kira abote. Apa kuwi dudu supata?

Nanging Dewa-Dewa kae lali, ana magma kang kinandhut dening bantala, kang kaping sasra luwih panas tinimbang dahana. Kang ngandhut wisa lan bisa ngejur paugeran-paugeran Dewa.

Manggali, apa kliru nalika aku muntah magma ngejur pranatan-pranatan edan gaweane para priya? Apa kleru menawa aku blaka? Apa kleru?


Blaka marang Durga kang kinupeng keluk dupa, marang Lendi, Larung, Gandi, Weksirsa lan Mahesa Wadana. Marang peteng wengi lan para ama ana pesarean-pesarean tuwa. Blakake ati kang ketaton, mbalakake supata Dewa kang sinandang raga.

Manggali, Erlangga uga dudu titis dewa kang utama.

Erlangga titisane Kresna, kang durung bisa munggah nirwana, kudu nitis kaping pithu ana donya amarga laku culika. Apa kowe isih kelingan patine Drona? Marang patine Duryudana, Jayadrata? Sepisan maneh pranatan-pranatan merem lan mingkem, ora kumecap, ora wuwus. Kaslimurake dening pedhut.

Manggali, aku milih dadi wanodya kang mawa wisa, ana ula ing angga (awak). Ula kang metu saka tatu-tatu ana teleng nala (ati). Ula kang cinipta saka nanah-nanah kang kaya magma.

Kowe bisa weruh ama-mala ngambang ana hawa, nyebar wisa lan memala. Mbungkem nyinyir pranatan priya. Kowe uga bisa deleng nyawa-nyawa kang ngoncati raga, mesat ngangkasa pindha cahya. Ngrenggani peteng langit kanthi werna.

Kumelun dupa kang kaatur pandhita-pandhita priya ora tumama. Cabar sakabehe mantra, merga ana wanodya kang ngandhut supata.

Teka priya jatmika, aran Bahula. Bungahmu tan kira nalika semana.

Manggali, apa kowe ngerthi swara nala (ati) wadon tuwa? Bebisik menawa lelakanmu bakal pindha Banowati kang mbela katresnane ing Kurusetra.

Nanging aku ora ngeli swara nala, ora ngrungokake swara kang banget bisa kapercaya. Aku mung pengen weruh kowe mulya.

Raga tuwa kang luwih abot marang atmaja (anak) tinimbang nyawa. Aku ora maelu umpama kowe ora duwe pangrasa kang pada. Mbesuk kowe uga bakal krasa nalika dadi wong tuwa.

Mula aku ora menggak nalika kowe lan Bahula ngrakit bale wisma. Sanegara suka parisuka. Nanging aku ngerti ana dahan kang ora musna.

Manggali, bebisik nala dumadi.

Bahula nyidra kitab pusaka. Keluk dupa nggubel candi Durga. Aku blaka marang Durga. Marang Lendi, Larung, Gandi, Weksirsa, Mahesa Wardana.

Mung merga ngeman marang kamulyanmu, aku ora nganthi ngoncatake nyawa Bahula. Ngeman marang kowe, ngeman banyu kang tumetes saka mata.

Manggali, kowe uga weruh tekane Baradah, pendeta tuwa saka Wurara.


Pendeta suci kang kapatah dening Erlangga nyirnakake wanodya tuwa. Kanthi kairing Weksirsa lan Mahesa Wadana mapag aku ana paseran tuwa.

Kadya sasra (sewu) dewa tumurun, Baradah mawa cahya. Dahana kang ora musna, ora bakal musna dening wisaku.

Manggali, taknistakake raga tuwaku. Aku ngemis-ngemis njaluk karuwat nganthi ngambung bantala. Nanging ukara apa kang kawetu saka Baradah?

"Ora bisa! Amarga kowe ngembol dosa tan kira!"

Aku muntab. Sanalika aku menyat, ngadeg jejeg. Manter taksawang Baradah, pendita suci kang laku culika. Pendeta guru Bahula. Aku jerit sora.

"Ora amarga aku ngembol dosa nanging amarga aku wanodya!"

Weksirsa lan Mahesa Wadana bisa karuwat amarga priya.

Taktokake rasa nala, kasuntak wisa, ama lan magma ana teleng (njero) raga. Nadyan aku ngerti menawa kabeh kuwi tanpiguna, amarga wewadi wis kawaca.

Dahana kuwi tan musna. Aku ora maelu terus nglawan nganthi Yang Yamadipati teka njabel nyawa. Nglawan minangka wanodya kang kapilara dening para Dewa.


Gadis 1, Tarakan 2016

Selasa, 21 Juni 2016

Tidak Ada Yang Kebetulan Dalam Hidup

Bagi orang jawa kegiatan niteni  : yang dalam arti sempitnya mengamati dan arti luasnya mengalami, menyaksikan, mengamati, dan merenungkan kembali sebuah pengalaman, adalah kegiatan yang penting dalam hidup.

dalane waskita saka niteni

Kegiatan ini mengandalkan rasa. Karena mengandalkan rasa pasti berbeda antara satu orang dengan orang lainnya dalam memaknai sesuatu. Sangat personal sifatnya.

Saya pernah membaca bila hidup tidak dimaknai, apa bedanya hidup kita dengan sebuah garis statis, sekedar hidup. Niteni adalah salah satu jalannya.

Salah seorang teman pernah bercerita tentang pengalamannya berdana. Kawan ini kebetulan suka berdana pada orang-orang yang ditemuinya di jalanan.

Menurutnya, biasanya ia bertemu orang yang sama di beberapa tempat/lokasi yang berbeda hingga tiga kali. Tidak lebih.

Bila lebih dari tiga kali, dan ia berharap bertemu seringnya orang tersebut seperti menguap entah kemana.

Awalnya ia tidak terlalu menganggapnya, hanya kebetulan semata, namun karena sering berulang timbul pertanyaan dalam hati kecilnya.

Apa maksud dari semuanya ini. Apa maksud Tuhan?

Mulailah ia mengamati bila peristiwa seperti itu terulang lagi. Akhirnya setelah perenungan ia mulai menarik kesimpulan bahwa orang yang bertemu itu memerlukan uluran tangan bukan tanpa tujuan.

Saya bertanya padanya apakah tidak takut ditipu bila ternyata orang tersebut tidak seperti yang kita duga. Ia hanya tersenyum dan kemudian bilang bahwa ia tidak peduli hal itu.

Ia juga menambahkan sebetulnya hal seperti itu banyak disekitar kita hanya memerlukan halusnya rasa membaca pertanda dan mau atau tidak mengikuti suaranya.

Mudik lebaran tahun lalu, saya juga diperkenankan untuk menemui hal yang mirip, mesti tidak sama. Saya mengalami, menyaksikan, mengamati, merenungkan dan akhirnya mengambil keputusan dalam situasi tersebut.

Seperti biasa kalau mudik lebaran saya jarang mengambil cuti. Saya lebih suka menggunakan angkutan umum dari dan ke bandara dari rumah ortu.

Karena berbarengan dan arus balik ya tentu mendapatkan tempat di angkutan umum bukan hal yang mudah. Seringkali berdiri menjadi semacam keharusan.

Karena hal tersebut saya putuskan pulang awal walaupun jadwal penerbangan pesawat saya baru besok sorenya. Dengan konpensasi harus bermalam semalam di Surabaya.

Saat menunggu angkutan umum dipinggir jalan raya, saya lihat banyak penumpang bus baik yang reguler ataupun patas berdiri karena tidak dapat tempat duduk. Padahal saat itu dua hari sebelum hari masuk kerja, angkutan umum sudah begitu padat penumpang.

Untung ada angkutan umum (L-300) yang sebetulnya bukan trayek ke Surabaya yang menawarkan jasa mengantar hingga terminal Bungurasih dengan harga miring. Saya yang terbiasa hati-hati agak curiga, namun setelah hati saya bilang aman saya ikut juga.

Harga bukan masalah saat itu bagi saya, yang penting aman dan dapat tempat duduk.

Sepanjang jalan menuju Surabaya angkutan itu penuh juga. Karena banyak orang yang tidak terangkut di pinggir jalan.

Hanya ada yang mengusik batin saya saat ada tiga penumpang yang naik dari baypass  Mojokerto, apalagi saat itu menjelang magrib. Dari tiga orang itu salah satunya duduk di bangku tambahan pas di depan saya (saat itu posisi duduk saya dibelakang supir dekat jendela).

Temannya dua yang lain duduk sebelah ibu-ibu yang duduk disebelah saya dan satunya lagi duduk di kursi tambahan sampingnya menghadap ke belakang.

Kecurigaan ini timbul karena batin saya membunyikan signal bahaya, dalam batin saya melafalkan ayat kursi. Dalam tas rangsel saya saat itu ada emas batangan hasil tabungan saya selama ini, yang tidak sempat saya titipkan ke bank syariah jadi saya bawa mudik.

Ibu disebelah saya asyik mengobrol dan tertawa. Percakapan juga mewarnai angkutan umum.

Ketiga pria itu turun tak jauh dari ujung bypass Mojokerto. Kemudian sopir angkutan menarik ongkos penumpang yang tersisa.

Saat itulah terjadi sedikit keributan, karena ibu disebelah saya dompet yang disimpannya dalam tas raib. Menurut dia isinya uang sekitar satu juta setengah. Tasnya pun tidak ada bekas sobekan atau sayatan.

Tentu ia kebingungan dan tidak punya uang untuk membayar ongkos. Beberapa penumpang bergumam kasihan, beberapa lain dengar dan mengajak berbincang tentang kronologi kejadian dan ada pula yang tidak peduli.

Sepanjang jalan ke terminal Bungarasih pembahasan peristiwa itu  ramai. Saya juga sibuk dengan pertanyaan-pertanyaan dalam diri sendiri.

Mengapa saya melihat peristiwa tersebut? Mengapa saya harus naik angkutan umum dengan ibu yang kecopetan itu? Apa maksud Tuhan dengan ini semua? Apakah ini hanya sebuah kebetulan semata?

Saya teringat cerita teman saya.

Tiba-tiba saja ucapannya seperti jelas terdengar hanya memerlukan halusnya rasa membaca pertanda dan mau atau tidak mengikuti suaranya.

Akhirnya saya putuskan berdana. Saya berikan saat saya turun daerah PLN Taman, ganti angkutan umum karena akan bermalam di Surabaya. Saya tidak pedulikan tatapan penumpang lain.


Bundaran ITS, Surabaya 2016

Senin, 20 Juni 2016

Ndak Salah Kok Harus Minta Maaf

Pernahkah Anda tidak bersalah pada seseorang, padahal seseorang itu yang bersalah malah Anda harus meminta maaf kepadanya?

"Forgiveness is the final form of love",  Reinhold Neibuhr

Sesuatu yang wajar bila kita bersalah dan harus meminta maaf ataupun saat orang lain berbuat salah pada kita dan kita memaafkan saat ia meminta maaf.

Meskipun kadang tidak mudah juga baik kita atau orang yang melakukannya. Tindakan yang memerlukan kebesaran hati tentunya.

Ada beberapa kesalahan yang dengan mudah mampu kita maafkan, beberapa lainnya sangat berat untuk kita maafkan.

Apalagi pada sisi orang yang meminta maaf atas kesalahannya. Ego diri seringkali tidak mudah dikalahkan dan ditundukkan.

Didukung budaya meminta maaf, mengucap kata tolong dan terima kasih adalah hal yang umum dilupakan.

Saat berusia 25 tahun, saya pernah juga diharuskan untuk meminta maaf atas kesalahan yang saya tidak perbuat. Tentu saya melawan perintah tersebut.

Tidak logis. Tidak masuk akal, bukan saya yang berbuat kok harus minta maaf.

Bukan kesalahan saya juga.

Saya sempat kena hukuman namun saya tetap pada pendirian saya. Prinsip saya.

Akhirnya karena sebuah alasan saya luluh juga, saya menekuk dalam-dalam prinsip dan ego saya saat itu. Saya meminta maaf atas sesuatu tidakan dan kesalahan yang tidak saya perbuat.

Kata-kata kakek saya yang membuat saya luluh.

Saat itu beliau berkata bahwa sangat berat mengakui kesalahan yang diperbuat utamanya bagi yang berbuat salah. Apa salahnya meminta maaf duluan bukankah hal itu lebih ringan bagi yang tidak berbuat salah. 

Bukan saya bila tidak membantah ... he3x. Saya bilang itu tidak adil dan logis. Dia yang bersalah kok saya yang harus minta maaf. Itu tidak mendidik, tidak membuat yang bersalah menyadari salahnya. Enak betul.

Kakek hanya tersenyum saat itu kemudian berkata bahwa orang tersebut pasti akan merasa.

Bila tidak,
bantah saya.

Itu urusan dia dengan dirinya, kata kakek.

Akhirnya saya mengalah.

Kemarin sore saya baca artikel ini. Ingatan saya kembali ke peristiwa itu.

Baru saya pahami ternyata saat itu kakek sedang mengajari saya hakikat tentang jejak sujud. Namun ketumpulan perasaan dan batin saya yang tidak bisa menangkap makna yang tersirat didalamnya.

Saya tetap dalam kedunguan tiada akhir.


Rusunawa, Tarakan 2015


Jin Hitam dan Satu Permintaan

Di negeri Jin, tinggalah Jin Hitam yang berilmu tinggi. Ia sangat ditakuti karena suka menyakiti sesama jin. Jin Hitam bangga dengan perbuatannya itu.

Semakin lama, ia pun semakin jahat. Penduduk Negeri Jin menjadi resah. Raja Jin akhirnya memerintahkan pengawal kepercayaannya, Jin Putih, untuk menangkap Jin Hitam.

Pertarungan seru antara Jin Putih dan Hitam berlangsung berhari-hari. Mereka berdua ternyata sama-sama sakti.

Untunglah suatu ketika Jin Hitam lengah. Jin Putih berhasil memenjarakannya di dalam sebuah botol. Jin Putih lalu melempar botol itu, sehingga jatuh ke dunia manusia.

Ratusan tahun Jin Hitam terkurung di dalam botol di dunia manusia. Ia kemudian berjanji. Ia akan mengabulkan tiga permintaan dari orang yang membebaskan dirinya dari dalam botol.

Tanpa terasa telah 1000 tahun Jin Hitam menunggu.


Gadis 1, Tarakan 2016

Suatu hari ada seorang anak sedang menggembalakan kambing-kambingnya. Tanpa sengaja ia menemukan botol tempat Jin Hitam dikurung.

Karena penasaran, si Anak Gembala membuka tutup botol itu. Keluarlah asap hitam dari mulut botol. Pelan-pelan, asap itu berubah bentuk menjadi sosok besar yang hitam.

Anak Gembala sangat terkejut.

"Hahaha, terimakasih, Anak Kecil. Kau telah membebaskan aku, si Jin Hitam yang terkenal sangat jahat dari Negeri Jin! Sekarang sebutkanlah tiga pertanyaan, dan aku akan mengabulkannya," kata Jin Hitam dengan suara berat.

Anak Gembala itu masih terdiam. Rasa kagetnya belum hilang.

"Cepatlah! Sebelum aku berubah pikiran," desak Jin Hitam galak.

"Tadi kau bilag, kau adalah jin yag sangat terkenal jahat?" tanya anak itu berusaha tidak takut.

"Ya, betul! Aku memang terkenal jahat dan kejam di negeri Jin!" jawab Jin Hitam bangga.

"Kalau begitu...aku cuma punya satu permintaan," kata anak itu setelah berpikir beberapa saat. "Aku ingin kau menjadi jin yang baik hati!"

"Itu mudah. Aku akan kabulkan permintaanmu itu," kata Jin Hitam.

Tanpa pikir panjang, Jin Hitam menggunakan ilmu sihirnya untuk memenuhi permintaan Anak Gembala. Jin Hitam lalu menghilang.

Jin Hitam sangat gembira karena kini ia telah bebas. Dalam hati, ia menertawakan kebodohan Anak Gembala.

Diberi tiga kesempatan, anak itu malah hanya meminta satu permintaan. Permintaan yang konyol pula, pikir Jin Hitam.

Ia lalu terbang ke Negeri Jin untuk balas dendam pada Jin Putih.

Setiba di Negeri Jin, Jin Hitam melihat banyak perubahan di negeri itu. Ia juga heran, karena penduduk jin yang berpapasan dengannya tidak tampak ketakutan sama sekali.

Namun ia kemudian teringat, bahwa ia telah lama sekali meninggalkan negeri itu. Jadi tak ada lagi jin yang ingat padanya. Semua telah lupa pada kehebatannya, dan kekejamannya dulu.

Dalam hati, Jin Hitam merasa marah. Kini ia tidak lagi ditakuti.

Ia bahkan tidak dikenal siapa pun. Jin Hitam akhirnya berniat membuat kejahatan lagi. Kebetulan dari arah depan, nampak jin tua sedang memanggul karung berat.

Jin Hitam lalu membaca mantra. Ia menyihir agar karung si jin tua menjadi berkali-kali lipat beratnya.

Ajaib! Yang terjadi malah sebaliknya. Karung itu malah menjadi sangat ringan. Jin tua seolah memanggul segenggam kapas.

"Jin Hitam, terima kasih untuk kebaikannmu!" ucap jin tua yang tahu kalau ini adalah akibat dari sihir Jin Hitam.

Hati Jin Hitam bertambah jengkel. Ia pun semakin sering berbuat jahat.

Namun anehnya, semua sihirnya selalu berubah menjadi sihir baik. Akibatnya, semakin banyak penduduk jin yang memujinya dan menyukainya.

Jin Hitam benar-benar pusing melihat keanehan itu. Akhirnya, pada suatu hari, ia pun teringat pada Anak Gembala dan satu permintaannya yang konyol.

"Ternyata Anak Gembala itu benar-benar cerdik. Anak itu telah mampu mengurung niat jahatku. Ia telah membuat penjara yang jauh lebih kuat daripada penjara yang dibuat oleh Jin Putih," pikir Jin Hitam.

Jin Hitam sadar, ia telah dilkalahkan Anak Gembala tanpa sebuah pertarungan.

Kini di negeri jin, Jin Hitam menjadi terkenal seperti duylu lagi. Namun bukan karena kejahatannya melainkan karena kebaikannya.


Cerita Anak ini pernah di muat di Majalah Anak- Anak Bobo Tahun XXXVI Terbit 02 Oktober 2008 dan Kumpulan Dongeng No.66 Pustaka Ola.

Sabtu, 18 Juni 2016

Ziarah ke Makam Wali

Troloyo, Mojokerto 2016


Apa arti perjalanan ziarah, tanpa menapak tilas sejarah dan menengok yang pedih dan yang dahsyat di masa silam? tulis Goenawan Mohamad dalam Mekah.

Saya setuju bahwa ziarah adalah menapak jejak masa lalu, sedang sesuatu yang pedih dan yang dahsyat di masa silam mungkin saya harus dengar kisahnya terlebih dulu untuk memahaminya.

Kebiasaan saya ngelayap ke candi-candi adalah karena saya suka kisah-kisah yang terpahat pada reliefnya dan juga kagum pada bangunannya. Selain ada alasan personal tentunya.

Kebiasaan ini bermula bila hati saya lagi galau, saya main ke candi. Dan, entah bagaimana perasaan saya jadi tenang sesudahnya.

Kebetulan ada candi yang dekat dengan rumah orang tua saya yaitu Candi Tegowangi.

Kebiasaan itu agak berkurang saat kyai memberi saran pada saya bila lagi galau lebih baik ke makam kuno Setono Gedong, di Kediri Kota. Makam seorang wali yang orang umum menyebutnya mbah Wasil.

Untuk mengetahui sejarah lengkap artikelnya ada disini.

Ziarah ke makam wali bagi saya merupakan hal yang tidak biasa saya lakukan. Saya terbiasa ziarah hanya pada leluhur-leluhur saya saja. Mereka yang punya jalur kekerabatan dengan keluarga saya.

Selain itu pernah ada pengalaman "aneh" waktu diajak teman karib saya ke makam Sunan Ampel. Kala itu bulan Ramadhan dan teman saya ini mengajak i'tikaf di masjid Sunan Ampel. Hal tersebut yang membuat saya enggan ke makam-makam para wali.

Kyai menyakinkan bahwa saya bakal diterima bila ziarah di makam Setono Gedong, karena masih punya jalurnya. Lalu beliau berkisah tentang sejarah jalur keluarga ibu saya dan hubungannya dengan Kediri.

Sejak itu saya sering main ke Setono Gedong, yah meski dibandingkan dengan Candi Tegowangi letaknya lebih jauh.

Berbeda dengan saya, orang tua saya sering ikut ziarah ke makam wali baik ke Jawa ataupun Bali, semenjak beliau berdua pensiun.

Dan awal Mei 2016 lalu saya diminta pulang untuk diajak ziarah ke makam wali yang di Bali.

Ternyata jadwal yang ditetapkan tidak fix, padahal saya sudah terlanjur beli tiket dan mengajukan cuti yang tentu tanggalnya tidak bisa diubah-ubah.


Akhirnya saya ngelayap sendiri ke Trowulan, Mojokerto. Telah lama saya ingin mengunjungi candi-candi di daerah tersebut dan sekalian ke makam Troloyo yang sering saya dengar namanya.

Ziarah ke makam Troloyo adalah ziarah saya ke makam wali urutan ketiga, selain ke makam Sunan Ampel dan Setono Gedong.

Saya datang waktu itu pagi hari, kawasan makam terasa sepi namun ada beberapa rombongan peziarah dari luar kota datang beberapa menit kemudian.

Setiap kali saya pulang ke Jawa, saya selalu sempatkan main ke rumah kyai. Baik ada perlunya maupun tidak.

Kali ini saya kesana karena ingin mendapatkan penjelasan tentang pengalaman personal saya saat ziarah ke makam Troloyo. Namun kyai tidak menjelaskan apapun.

Beliau hanya bercerita bahwa habis ikut rombongan ziarah ke wali lima bersama putra dan saudara sepupunya. Pulang ziarah sakit akhirnya berobat ke dokter.



Kyai menceritakan pengalaman personal beliau saat ziarah. Namun saya tangkap intinya, yang secara tidak langsung memberikan penjalasan pada hal yang saya tanyakan.

Beliau juga berpesan bahwa sebaiknya kita persiapkan terlebih dahulu mental sebelum berziarah. Niat dan hati kita. Kemudian membawa bekal sendiri saat berziarah hingga tidak membeli makanan di jalan. Agar kita dapat inti dari ziarah tersebut. 



Saya paham aturan tersebut. Aturan dasar yang berlaku dan sudah lama saya kenal.

Intinya adalah tekad bulat lahir maupun batin dalam mengerjakan sesuatu dan menahan segala godaan saat menjalaninya.

Selama saya berziarah selalu bawa bekal baik makanan ataupun air minum sendiri dan tidak mampir-mampir wisata kuliner. Sejalan dengan yang disarankan kyai.

Meski jujur saya akui, sebetulnya bukan tahan godaan namun lebih karena otak kapitalis saya yang tidak mau berhenti berhitung ...ha3x




Troloyo, Mojokerto 2016