Selasa, 31 Mei 2016

Naga terbang yang memukau

Perkenalan saya dengan capung membuat saya ingin terus belajar tentang serangga jaman purba ini. Ragam dan keindahannya memukau saya.

Saat saya kecil bila musim hujan drainase jalan (kalenan; dalam jawa) depan rumah orang tua saya terisi oleh air. Berhari-hari bahkan berbulan-bulan dan kering saat kemarau.

Pada drainase yang letaknya di ujung jalan buntu, bagian dekat ladang sering terdapat capung jarum beragam warna.

Saya suka mengamatinya. Gerakan terbang mereka berputar, kadang maju atau mundur. Dan hinggap dengan anggunnya pada dedaunan.

Pada beberapa kebudayaan capung begitu dihargai. Bagi orang jepang capung, yang mereka sebut tombo adalah simbol keberanian. Simbol capung juga dapat ditemukan dalam samurai mereka.

Masyarat di pulau Kabena memandang capung dengan prespektif yang berbeda. Sebutan capung di daerah itu adalah Tasi'A.

Bagi mereka tasi'a akan selalu memberi informasi secara alami tentang vegetasi hutan; pergantian musim, kondisi air, dan kondisi lingkungan hutan.

Jika masyarakat Kabaena tidak melihat ada tasi'a yang hidup di suatu sungai maka masyarakat tidak akan mengkonsumsi air sungai tersebut karena berarti sungai itu tidak bersih. Lebih jelasnya bisa dibaca disini.

Saya mulai belajar mengidentifikasi capung. Biasanya mencari gambar yang mirip dari googling.

Bila menemukan jenis dan nama spesiesnya ada rasa bahagia. Menambah pengetahuan saya tentang habitat dan perilaku mereka, ternyata hal ini menyebabkan kecanduan serta meningkatnya rasa ingin tahu saya tentang spesies capung lainnya yang ada di Tarakan.

Akhirnya saya menemukan komunitas pecinta capung di sebuah group facebook, Banyak ilmu tentang capung yang bisa dipelajari disana. Bila Anda tertarik bisa saja langsung kesini saja.

Saya juga menemukan blog menarik yang mampu menambah pengetahuan saya tentang capung. Berisi tentang capung yang ada di Singapura; dengan foto-foto indah beserta informasi habitat, jenis kelamin dan nama spesiesnya. Langsung saja kesini dan dijamin tidak menyesal.

Beberapa buku tentang capung terbitan Indonesia sudah ada beberapa, meski tidak terlalu banyak. Salah satunya Naga Terbang dari Wendit yang diterbitkan oleh Indonesia Dragonfly Indonesia.

Saya memilikinya :)

Gambar milik mbak Magdalena Putri, saya ambil dari akun twitter @magda_putri



Capung-ers

Manusia dan segala kehidupannya selalu menarik untuk dijadikan objek foto. Lebih-lebih lagi dalam momen yang menyentuh. Namun saya memiliki resistensi tinggi, bawaan orok ... ha2x,  rasa malu, sungkan dan takut kena marah bila mengarahkan kamera ke orang yang tidak saya kenal.

Saya juga pernah baca bahwa salah satu faktor penting lainnya adalah mencairkan suasana dan mampu membaur dengan lingkungan yang akan diambil gambar. Lebih bagus lagi bila kehadiran kita tidak mengganggu dan tersamar.

Demi memperoleh kemampuan itu, salah satu latihan yang bagus adalah mengambil gambar serangga. Serangga yang relatif sensitif akan kehadiran manusia.

Proses mengambil gambarnya tentu bukan hal yang mudah dilakukan. Apalagi bagi saya dengan compact kamera berzoom pendek.


Saya memilih mengambil gambar capung sebagai latihan. Capung adalah bagian dari ingatan masa lalu saya. Setelah dewasa serangga satu ini sudah saya jarang temui atau mungkin saya yang tidak peduli ... he3x.

Beruntung di Tarakan saya masih bisa menemukan capung. Seketika berhamburan ingatan tentang capung dalam benak saya. Hal yang merupakan kebahagiaan tersendiri bagi saya.


Mulailah saya menyusuri ingatan-ingatan lampau. Mulailah saya mengenal capung.







Melihat senja, melihat drama

Senja selalu menarik untuk dilihat. Saya tidak pernah bosan menikmatinya. Sinar matahari yang lembut dan kecondongan matahari membuat benda-benda tampak berisi dan lebih indah. Mungkin karena itulah digolongkan dalam kategori waktu golden hour.

Setelahnya juga masih waktu yang bagus untuk mengambil gambar, saat langit membiru sesaat setelah matahari lenyap (blue hour). Waktu yang satu ini jarang saya nikmati karena alasan personal.

Pelabuhan tengkayu 2 juga menarik dikunjungi kala menjelang senja. Biasanya ada kegiatan bongkar muat barang ke kapal. Dan unik menurut saya untuk diambil gambar.

Siluet yang tercipta cukup dramatis. 

Dalam hal ini kebiasaan saya menonton wayang kulit sejak kecil sepertinya banyak berpengaruh.

Dalam ingatan saya gerakan-gerakan yang tercipta dari cahaya blencong, kayon/layar dan ukiran halus kulit sapi yang disungging membentuk karakter itu seolah hidup.

Melompat dan bergerak di imaji saya diiringi alun mistik gamelan. Berkisah tentang satria dari negeri-negeri tua yang kerap didongengkan leluhur kami.

Kenangan itulah yang mungkin membuat saya menyukai siluet kala senja.







Senin, 30 Mei 2016

Belajar Human Interest

Berawal dari sebuah janji pada guru online bahwa saya akan mencoba mengambil gambar dengan genre human interest.

Mungkin bagi guru online saya, genre itu tentu tidak terlalu sulit karena saya pernah setahun setengah jadi pekerja sosial. Ilmu yang saya pelajari saat kuliah juga banyak yang berhubungan langsung dengan masyarakat.

Padahal ... sifat bawaan saya, tidak hilang juga. Tentu bukan hal yang mudah. Belum lagi 'pekerjaan rumah' tentang bagaimana membuat sebuah foto itu bercerita ... alamak.

Hanya karena tidak ingin mengecewakan harapan dan ekspektasi yang terlalu tinggi, sekalian memberi tantangan baru buat proyek ambil gambar saya, ya saya setujui saja.

Saya pun mulai mencari bahan bacaan mengenai apa itu human interest dalam fotografi. Seperti biasa saya pun googling; baca ulasan laman yang saya ikuti. Lebih jelasnya bisa dilihat disini.

Menurut blognya om Barry Kusuma bahwa human interest menggambarkan kehidupan pribadi manusia atau interaksi manusia serta ekspresi emosinya dalam kehidupannya. Jelasnya ke sini saja.

Ehm ,,, intinya sih manusia dengan lingkungan berserta ekspresi emosinya.


Pasar dayak 

Tengkayu 2

Tengkayu 2
Lapangan depan Tarakan Plasa Hotel

Dua cara memakan bubur ayam

Kadang geli juga kalau lihat seorang posted gambar original, no edit. Memang sih masalah edit dan non edit adalah pertarungan sengit dalam ranah fotografi.

Pro dan kontra bertebaran. Pihak yang pro mengatakan fotografi adalah soal kejujuran, apa yang kita foto adalah kondisi apa adanya.

Pihak yang kontra bilang fotografi adalah seni dan kreativitas yang tidak bisa dibatasi. Apa gunanya bila hasil foto apa adanya sama saja dengan foto dokumenter saja.

Ada pendapat bang Arbain Rambrey tentang edit dan non edit pada fotografi dengan perumpaan cara makan bubur ayam. Bila makan bubur ayamnya tanpa diaduk-aduk dulu, langsung dimakan berarti penganut paham non editing.

Sebaliknya bila cara makan bubur ayamnya diaduk-aduk dulu hingga rata tercampur dan baru dimakan berarti ia penganut paham editing.

Saya tidak senang makan bubur ayam jadi ... bukan dua-duanya. Ha3x.

Ndak deh ... jujur saya kebetulan penganut editing itu wajib. Meski tidak banyak kuasai juga teknik editing.

Sebenarnya, non editing memang harus diterapkan pada saat tertentu, misalnya dokumentasi acara, barang bukti, lomba yg mensyaratkan tidak boleh ada proses editing.

Editing diperlukan terutama oleh orang yang profesinya di bidang fotografi. Konyol rasanya bila pekerjaan utamanya berkaitan dengan fotografi tanpa menggunakan post editing process.

Jadi semua foto saya telah mengalami proses editing. Bahkan adik ipar saya bilang, saya sebenarnya lebih cocok jadi editor daripada fotografer.

Iya,lah... sapa bilang saya fotografer...ha3x.




Still Life

Awal berkenalan dengan still life secara tidak sengaja. Hasrat pingin hunting namun terhalang hujan.

Jadinya yah ... cari-cari objek yang bisa diisengin deh akhirnya. Melongok dapur mungkin ada yang bisa diambil gambar.

Melongok bagian belakang rumah yang biasanya tidak pernah dihiraukan. Sambil berpikir keras apa yang bisa dijadikan objek foto.

Perlu sedikit perhatian, melihat serta mengamati lebih dalam, agar mendapatkan keindahan tersembunyi dari sesuatu yang tampak biasa saja.

Trada ... akhirnya ketemu juga grendel pintu menuju halaman belakang. Saya bersyukur compact kamera saya keren mode macronya.

Meski harus sabar menunggu auto fokus macronya keluar dan harus dekat sekali dengan objek yang diambil gambar.







Still life ke-dua saat saya iseng memetik bunga kamboja dan mencoba bereksperimen di kamar. Selama ini saya banyak belajar dari gambar-gambar yang bersliweran di pixoto.

Mencoba mengatur sesuatu yang mirip-mirip majalah githu ... Meski saya tahu sangat lemah dalam hal tersebut. Apa salahnya saya coba.

Biasanya saya lebih suka mengambil gambar apa adanya yang telah diatur oleh alam.








Minggu, 29 Mei 2016

Melumpuhkan beruang dengan pisau

Guru saya lainnya dalam fotografi adalah bekas dosen favorit banyak mahasiswa di kampus saya dulu. Beliau adalah bapak dr. Rachmat Hargono, M.S., M.P.H.

Seorang dosen dan juga bapak pelindung bagi saya dan banyak mahasiswa kampus saya lainnya. Tanpa beliau mungkin skripsi saya tidak bakalan kelar ... he3x.

Beliau yang menyemangati saya untuk berkegiatan dan belajar berorganisasi. Mengenal masyarakat marginal dan pemberian pelayanan sosial. 


Beliau juga satu satunya yang mengerti bahwa saya itu berbeda. Saya jinchuuriki, punya kutukan mata byakugan dan rinnegan bersamaan...he3x. Lebay ... naruto made on.

Setelah kelar kuliah saya masih sering berbincang dengan beliau di facebook. Konsultasi tentang hasil gambar saya, meminta sebaiknya bagaimana tentang sudut pengambilan dan sesuatu yang tidak tepat.

Bahkan mendengarkan keluhan saya saat compact kamera yang zoomnya terbatas gagal menangkap bentuk matahari yang dramatis saat tenggelam.

Karena zoom yang terbatas dan saat itu, banyak kapal bersandar di pelabuhan menurut saya pengambilan gambar kurang bagus, banyak noise.

Beliau berkomentar, Great ... momentnya dapat. Saya jawab, andai dengan DLSR tentu lebih bagus hasilnya.

Beliau menjawab, justru kalo hanya pake pisau bisa melumpuhkan beruang, lebih baik daripada membunuh beruang dengan senapan. (06/05/2014, 17:59)


Kalimat ini yang selalu terngiang saat saya merasa kurang maksimal saat mengambil gambar menggunakan compact kamera. Saat saya tidak mensyukuri apa yang saya punya.



Saya dan Pixoto

Awal kenal pixoto.com seingat saya dari teman facebook yang sering dapat pemberitahuan bahwa hasil karyanya dapat award. Saya kemudian tertarik untuk mencoba.

Hal yang melintas pikiran saya saat itu adalah pixoto.com adalah situs internasional, ada duel antar foto anggotanya, ada contest ( pixoto photo contests dan community photo contest), awards buat foto terbaik harian, mingguan dan tahunan, yang utama adalah saya bisa belajar dari melihat foto yang bagus. bagaimana angle pengambilan gambarnya dan mengapa foto itu bisa bagus.

Bila di facebook teman saya terbatas, saya sengaja membatasi jumlah teman, sehingga saya pikir kurang akurat penilaian pada foto saya. Jadi saya mencoba masuk pixoto, dimana lebih beragam dan lebih banyak anggotanya, dari berbagai profesi dan negara.

Kalau tidak salah ingat tanggal 25 Maret 2014 saya bergabung dan posted gambar di pixoto. Akun saya di pixoto.com ada disini. Bila ingin tahu bisa dikunjungi, meskipun sekarang saya tidak aktif lagi post di pixoto :)

Pixoto mewarnai perjalanan saya dalam mengenal fotografi. Gambar-gambar di pixoto adalah guru saya secara tidak langsung. Pixoto pun turut andil menyemangati saya untuk berproses maju.

Terima kasih pixoto :)


Sabtu, 28 Mei 2016

Mengunjungi senja

Selain memburu sunrise, saya juga jadi gemar memburu sunset. Permainan cahaya antara perubahan terang ke gelap ataupun sebaliknya itu selalu memukau.

Alam seperti menunjukkan keahliannya,bahwa waktu antara itu begitu indah. Bahwa ada abu-abu yang memukau antara hitam dan putih. Bahwa bimbang itu mesti ada, menjadi sekat yakin dan tidak yakin.

Cakil selalu muncul menanyakan ketetapan hati kita, sebelum adegan perang kembang. Cakil raksasa kecil itu adalah suara batin kita dalam menimbang,sebelum membuat suatu keputusan.

Mungkin itulah mengapa waktu antara dalam keyakinan jawa dianggap waktu yang gawat. Candhikala. Anak-anak yang dilahirkan pada waktu itu juga masuk anak yang menyandang sukerta, anak yang dipandang membawa nasib sial akibat waktu kelahirannya.

Eh, kok ngelantur
. Senja di Tarakan bisa dinikmati di semua pelabuhan. Karena rata-rata terletak di bagian barat pulau.

Pelabuhan yang sering saya kunjungi untuk melihat senja adalah tengkayu 2. Pelabuhan perikanan orang setempat menyebutnya, karena banyak pabrik pengolahan hasil laut baik itu udang, kepiting atau ikan bandeng.

Pelabuhan kecil tempat bongkar muat barang dari dan ke pulau-pulau sekitar Tarakan. Sebenarnya ada tiga pelabuhan lagi; pelabuhan malundung (pelabuhan besar bongkar muat barang, dan kapal penumpang ukuran besar), pelabuhan tengkayu 1 (pelabuhan speeedboat dari dan ke luar Tarakan) dan pelabuhan tengkayu 3 (pelabuhan kapal ferry).

Sebenarnya melihat sunset terbaik ada di pelabuhan tengkayu 3, namun jaraknya yang lumayan jauh sekitar 20 km dari tempat tinggal saya, tidak bisa jadi pilihan. Berbeda dengan tengkayu 2 yang hanya 10 menit. Ibadah magrib juga tidak terlewat.

Dari sekian sering saya mengunjungi senja, senja yang datang selalu berbeda. Selalu tak sama. Entah, mengapa?







Memburu sunrise

Kritikan pedas dari adik ipar saya masih bersemayam dalam benak. Menjadi sebuah tanda tanya besar yang belum terpecahkan.

Sementara saya kesampingkan hal itu, saya masih ingin menikmati penjelajahan dengan compact kamera saya. Untuk urusan cueks, saya jagonya ... ha3x.

Setiap hari sabtu kantor kebetulan libur, sehingga saya bebas pergi kemana saya suka, tentu bila tidak terhalang panggilan mendadak pekerjaan kantor yang menuntut lembur atau pekerjaan rumah tangga.

Satu-satunya pantai di Tarakan yang memungkinkan kita melihat matahari terbit (sunrise) adalah pantai amal. Karena letaknya di bagian timur pulau.

Untuk memburu sunrise setidaknya pukul 05.15 wita atau paling lambat pukul 05.30 wita harus berangkat dari tempat saya, yang berada di bagian barat pulau.

Jalanan lengang, remang gelap mulai pudar dan udara pagi yang bersih mengiring perjalanan saya. Tarakan kota kecil relatif aman meski begitu ayat kursi terus terlafal dalam hati saat berkendara. Kebiasaan yang sulit hilang ... he3x.

Tanjakan curam bukit amal akan saya lewati. Setelah itu melewati hutan kota dengan jalan mulus sedikit berkelok. Jarak tempuh perlu sekitar 45 menit dengan kendaraan bermotor kecepatan sedang.

Meski bukan pantai ideal dengan pasir putih dan laut nan biru, bagi saya pantai amal lumayan bila sekedar diambil gambarnya.









Foto yang tidak bercerita

Sebagai pemula yang belajar fotografi tentu dong seneng banget bila diupload di media sosial dan banyak yang berikan like.

Yah, terlepas apakah benar-benar yang tekan tombol like di facebook itu suka atau sekedar menghormati pertemanan maya dengan kita.

Saya pun tidak terbebas dari sindrom itu.

Saya merasa bangga ternyata saya bisa juga mengambil gambar. Upaya keluar dari kebiasaan saya pun dihargai oleh orang lain.

Tidak rugi mengejar sunrise atau sunset. Tidak rugi pergi kala ada demo atau pameran dan keramaian lainnya. Hal yang dulunya tidak pernah saya suka.

Saya dengan bangga menunjukkan hasil karya saya itu pada adik ipar saya. Saya minta kritik pedas agar ada progress maju dalam berkarya.

Kebetulan adik ipar saya, seorang yang suka bikin film dokumenter. Dan lumayan terbukti dan diakui karyanya. Mengapa tidak dimanfaatkan ... he3x.

Ternyata komentar dia pendek. Bagus, hanya tidak bercerita. Tidak hidup dan membawa kesan.

Runtuh sudah rasa bangga saya pada bakat yang terlambat ini. Runtuh juga kebanggan pada semua like di facebook. Apa ya yang salah?

Padahal kaidah role of third juga sudah saya pakai. Komposisi, warna, framing, golden hour. Foto yang bercerita itu yang bagaimana?

Sepertinya hal itu akan menjadi pekerjaan rumah yang tidak mudah untuk saya kerjakan, disela-sela runtuhnya rasa bangga akan kemampuan fotografi saya.


Bersepeda

Look ...

Surprise ...

talking

Keluar cangkang

Berbekal kamera compact dengan percaya diri saya memulai berkenalan dengan aktivitas ambil gambar. Beberapa daerah/tempat yang biasanya hanya saya kunjungi selintas lalu, mulai saya datangi dan perhatikan.

Hal ini boleh dibilang keluar dari kebiasaan saya. Saya dari kecil pemalu, tidak mudah bergaul dan akrab dengan seseorang, lebih menikmati kesendirian dan tidak menyukai jadi pusat perhatian ataupun keramaian.

Yups, seorang introvert.

Dulu, saya ingat betul ibu menyarankan agar saya mengambil jurusan yang tidak berhubungan langsung dengan manusia. Jurusan yang lebih sering berkutat dengan benda mati atau laboratorium.

Setiap ibu tentu paham benar anak-anaknya. Saya tipe penurut, ya ikuti saja saran beliau.

Sayang, seperti takdir tidak menghendaki saya jadi ilmuwan yang bergumul dengan laboratorium. Dua kali saya coba masuk teknik kimia dan gagal.

Malahan masuk jurusan dimana lebih banyak berhubungan dengan masyarakat, memberi penyuluhan dan presentasi-presentasi. Namun, untung bukan jurusan komunikasi ... ha3x.

Jadinya saya masih bisa nebeng nama saya kalau ada tugas presentasi.

Aktivitas mengambil gambar yang membuat saya keluar dari zona nyaman. Keluar sedikit dari cangkang saya.

Beberapa gambar yang saya ambil awal-awal memiliki kamera compact :)

Tarakan Plasa Hotel

Depan BNI 46 Tarakan

Jalan Yos Sudarso Tarakan
Sepatu yang dijemur



Jumat, 27 Mei 2016

Aku dan compact kameraku

Sebenarnya sudah lama keinginan mempunyai sebuah kamera, namun kok ya tidak berani beli. Keinginan punya sebuah kamera saya ingat benar sejak SMP. 

Sejak adik perempuanku yang juga saat itu SMP membeli compact kamera. Mungkin aneh bagi sebagian orang wong ingin punya kamera saja kok dipendam sekian lama :)

Mbok ndang
beli, toh kamera bukan lagi barang mewah seperti dulu toh hanya sebuah kamera compact, berapa juga sih harganya?

Entahlah ... bila urusan membeli sesuatu bagi diri sendiri saya termasuk pelit. Namun giliran untuk orang atau saudara saya tidak terlalu perhitungan.

Saya ingat benar ayah bercerita bahwa beliau menekan hobby-nya demi ekonomi keluarga. Hobby itu hanya untuk orang kaya begitu ayah selalu bilang. Hal itu terpatri dalam bawah sadar saya hingga sekarang.


Saya sadar bahwa keinginan memiliki kamera compact itu sebetulnya bukan tanpa alasan, namun terlambat saya sadari. Waktu kuliah sering kali saya dimintai tolong mengambil gambar oleh teman dan kebanyakan hasilnya bagus. 


Sekali lagi hal tersebut saya anggap kebetulan semata, tidak saya anggap ataupun saya pikir. Berlalu seperti angin.


Saat booming fotografi, kamera DLSR pun semakin "murah" dan kebetulan saya sudah punya penghasilan sendiri. Perasaan ingin punya kamera mendekat lagi pelan-pelan. 

Sialnya, saya bahkan satu kosan dengan seorang teman yang pekerjaannya sebagai fotografer acara nikahan. Jadinya keinginan itu semakin menggebu, namun saya terbiasa mengontrol perasaan dengan logika tidak terlalu sulit menggendalikannya.

Paling-paling hanya intip-intip laman di sini. Untuk lihat harga dan perkiraan berapa budget untuk sebuah hobby bernama fotografi. 


Hal yang saya lakukan berbulan-bulan dan akhirnya saya memuutuskan ingin membahagiakan diri sendiri, keluar dari garis batas yang selama ini saya buat buat dan yakini. Namun, tetap dalam koridor logika. 

Saya uji keinginan tersebut, apakah sekedar want atau memang need. Saya mengujinya selama tiga bulan, seandainya sekedar want pasti selama tiga bulan keinginan itu luntur, bila tidak berarti need.

Selama itu pula saya bertanya pada diri, ini barang konsumsi atau barang produksi. Kira-kira tahan berapa lama hobby ini nantinya saya jalani. 


Kamera apakah yang saya inginkan, compact, prosumer, DLSR atau mirrorless. Dan terakhir kira-kira budgetnya berapa?

Yah, saya memang seribet itu orangnya, namun itulah saya :)

Akhirnya saya putuskan membeli compact kamera saja, yang high level. 


Dengan pertimbangan saya belum yakin hobby ini akan bertahan lama, kamera DLSR atau mirrorless itu lensanya lumayan mahal,  dan banyak hal lain lagi yang dipersiapkan bagi pendamping sebuah kamera (mulai bag, tripod, pembersih dan banyak lagi). 

Compact camera lebih simple bagi saya baik segi ukuran, perawatan, lensa dan aksesorisnya.

Akhirnya, pilihan kamera compact jatuh pada Panasonic Lumix DMC-LX7 yang saya beli online tanggal 23 February 2014 dengan harga Rp. 4.280.000,00. Dan saya berharap tahan tidak upgrade selama lima tahun ... ha3x.

Pilihan ini bukan asal, saya sering membaca laman tentang belajar fotografi dan review kamera di sini


Kebetulan pernah membahas tentang advanced compact terbaik 2012. Meski telat dua tahun bagi saya tidak masalah karena cocok dengan budget dan spekualifikasi yang saya inginkan.

Dan mulailah perjalanan saya belajar fotografi dengan camera compact yang sejak lama saya ingini :)




Panasonic DMC-LX7