Selain memburu sunrise, saya juga jadi gemar memburu sunset. Permainan cahaya antara perubahan terang ke gelap ataupun sebaliknya itu selalu memukau.
Alam seperti menunjukkan keahliannya,bahwa waktu antara itu begitu indah. Bahwa ada abu-abu yang memukau antara hitam dan putih. Bahwa bimbang itu mesti ada, menjadi sekat yakin dan tidak yakin.
Cakil selalu muncul menanyakan ketetapan hati kita, sebelum adegan perang kembang. Cakil raksasa kecil itu adalah suara batin kita dalam menimbang,sebelum membuat suatu keputusan.
Mungkin itulah mengapa waktu antara dalam keyakinan jawa dianggap waktu yang gawat. Candhikala. Anak-anak yang dilahirkan pada waktu itu juga masuk anak yang menyandang sukerta, anak yang dipandang membawa nasib sial akibat waktu kelahirannya.
Eh, kok ngelantur. Senja di Tarakan bisa dinikmati di semua pelabuhan. Karena rata-rata terletak di bagian barat pulau.
Pelabuhan yang sering saya kunjungi untuk melihat senja adalah tengkayu 2. Pelabuhan perikanan orang setempat menyebutnya, karena banyak pabrik pengolahan hasil laut baik itu udang, kepiting atau ikan bandeng.
Pelabuhan kecil tempat bongkar muat barang dari dan ke pulau-pulau sekitar Tarakan. Sebenarnya ada tiga pelabuhan lagi; pelabuhan malundung (pelabuhan besar bongkar muat barang, dan kapal penumpang ukuran besar), pelabuhan tengkayu 1 (pelabuhan speeedboat dari dan ke luar Tarakan) dan pelabuhan tengkayu 3 (pelabuhan kapal ferry).
Sebenarnya melihat sunset terbaik ada di pelabuhan tengkayu 3, namun jaraknya yang lumayan jauh sekitar 20 km dari tempat tinggal saya, tidak bisa jadi pilihan. Berbeda dengan tengkayu 2 yang hanya 10 menit. Ibadah magrib juga tidak terlewat.
Dari sekian sering saya mengunjungi senja, senja yang datang selalu berbeda. Selalu tak sama. Entah, mengapa?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar