Minggu, 12 Juni 2016

Ramadhan dan Kunyah Pelan-Pelan

Pagi ini saya buka facebook ada notifikasi tentang tanggapan seorang teman atas komentar saya pada statusnya. Sebenarnya bukan  hal itu yang menarik namun komentar selanjutnya yang mengeluh perutnya suka kembung dan balasan dari orang lain yang menawarkan solusinya, sebuah obat kimia.

Saya pun demikian, apalagi saat saya magang di puskesmas. Saya hapal obat apa yang dipakai menetralkan apa, meski saya bukan dokter atau apoteker.

Saat dulu akrab dengan sawah, untuk meninggikan hasil produksi tanam biasaya bapak saya mencampur pupuk, tidak jarang saya yang jadi bagian pengantaran atau bantu angkat-angkat. Saya juga yang dapat tugas membuka pintu gudang dan menghitung jumlah pupuk yang diantar dan diturunkan dari truk bila datang dari KUD kecamatan.

Kembali ke perut kembung, memang jalan pintas dengan yang serba kimiawi itu cepat dan mudah. Bukan berarti tanpa efek samping, dan hal ini yang jarang dijelaskan atau kita tidak mau tahu.

Perut kembung bisa terjadi karena bakteri pada bagian atas tubuh kita lebih banyak daripada bagian bawah (usus), suatu kondisi yang tidak ideal tentunya bagi kesehatan. Bisa pula karena cara mengunyah yang terburu-buru.

Saya pun sejak kecil dituntut serba cepat oleh orang tua. Lambat adalah sebuah dosa, karena hidup menuntut cepat.

Hal ini juga termasuk dalam hal makan. Siapa yang makannya cepat, kerjanya cepat juga.

Persoalan makan cepat sering membuat saya kesulitan bila ada acara makan komunal, kenduri. Bisanya saya memilih menolak makan.

Padahal kecepatan mengunyah makanan saya termasuk lumayan, tidak lambat-lambat banget. Tapi selalu jadi yang terakhir kalau makan komunal.

Setahun ini saya mulai belajar makan lambat, mengunyah pelan-pelan, dengan porsi lebih sedikit. Sejak kenal pola pengaturan makan (food combining), meski dulu saat kuliah pernah seorang teman menjelaskan diet ini bagi kecantikan, terus terang saya menikmatinya.

Perbaikan kondisi kesehatan secara signifikan saya rasakan meningkat. Jarang sekali sakit, tidak seperti sebelumnya. Emosi juga lebih stabil, sabar.

Hal tersebut ternyata pengaruh dari cara mengunyah (semakin banyak kunyahan akan mempengaruhi pelepasan hormon relaksasi) dan jenis makanan yang mayoritas nabati.

Saya masih ingat pernah dihukum 10 tahun tidak boleh makan hewani karena bermain awan/hujan. Demi mengurangi kegalakan emosi saya.

Yah, waktu itu saya lakukan karena terpaksa dan tentu hasilnya juga tidak sebagus bila keinginan dan dengan kesadaran sendiri tentunya .... he3x.

Baru sekarang saya pahami arti hukuman itu.

Kunyah baik-baik dan makan dengan santai, bahasan soal hal ini sebenarnya sudah lama juga saya baca pada novel Tetsuko Kuroyanagi, Totto-Chan Gadis Cilik di Jendela. Bila tertarik bisa di dapatkan versi pdf-nya disini.

Saya membaca novel tersebut saat sekolah menengah atas dan saya tidak memahaminya, hanya sekedar membaca.

Saya pernah mendengar kalimat begini, saat kita ingin menerima sebuah pengetahuan baru sebaiknya kita kosongkan dulu pengetahuan-pengetahuan yang kita miliki sebelumnya, agar ada cara pandang baru mengikuti.

Tentu hal tersebut tidaklah mudah, karena berkaitan dengan ego kita utamanya, belief system dan masih banyak lagi lainnya.

Saya pikir itulah yang terjadi dulu pada saya ... he3x. Adanya hanya penyangkalan-penyangkalan belaka.

Ramadhan adalah saat tepat untuk belajar melambat bagi saya. Belajar mengunyah pelan-pelan.

Belajar menundukkan ego serta belajar mengenal dan mendengarkan suara tubuh saya.

Karang Balik, Maret 2016



2 komentar:

  1. Bermanfaat...dan sipp!

    Mampir juga di sini, Mas Nayana Maruta : http://slistyo.blogspot.co.id/

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ok ... mbak Sulis :) Terima kasih telah sudi berkunjung.

      Hapus